slider

Recent

Diberdayakan oleh Blogger.

Logo TVRI dari Masa ke Masa

  Logo TVRI sejak 2019. Lebih milenial tapi mirip DW Jerman Deutsche Welle atau DW adalah TV dan Radio plat merah Jerman. Selain untuk warga...

Cari Blog Ini

Navigation

Deutsche Welle , Bung Rudi dan Jejak Perubahan di Indonesia

Runtuhnya Tembok Berlin 1989.(Foto: Guardian)


Warga menghancurkan Tembok Berlin (Foto: Careline)


9 November 1989, tembok Berlin  yang memisahkan Berlin Barat dan Berlin Timur sejak tahun 1961 itu roboh.
  
Gegap gempita warga Berlin Timur merobohkan tembok lalu ramai-ramai menyeberang ke Berlin Barat saya simak dari Tebing Tinggi sebuah kota kecil di Sumatera Utara, 78 kilometer dari ibu kota provinsi Medan.

Saat peristiwa itu terjadi, saya berusia hampir 13 tahun atau baru beberapa bulan duduk di kelas 1 SMP. Mulai masuk masa remaja dan tertarik pada hal-hal berbau politik.

Beberapa hari sebelum tembok Berlin runtuh, lewat  radio transistor 9 band, saya tiap pagi mendengar radio Deutsche Welle (DW) Siaran Indonesia makin sering mengabarkan gejolak sosial politik di Jerman Timur. Tentang unjuk rasa besar-besaran yang kian merepotkan Presiden Jerman Timur kala itu Egon Krenz. 

Logo Deutche Welle tahun 1990-an. Logo ini menghiasi stiker dan suvenir yang banyak saya terima.


Peristiwa itu sangat berkesan bagi saya. Siaran gelombang pendek Deutsche Welle  di saluran SW yang tak stabil dan audionya kerap hilang timbul, bukanlah penghalang. Diantara gelombang yang timbul tenggelam itu, tagline "Inilah Suara Jerman, Deutsche Welle!" justru melekat di hati. 

Logo Deutsche Welle saat ini.


Berita DW amat mempesona. Voice over ditambah atmosfer sound  unjuk rasa di Lapangan Alexanderplatz begitu mencekam. Atau kala pendemo ramai-ramai merobohkan tembok yang bertahun-tahun banyak memakan korban jiwa itu terasa hidup dalam imajinasi saya.

Rudiger Siebert, penyiar favorit saya dan jutaan pendengar setia DW dari Indonesia.


Siaran Radio Deutsche Welle   berbahasa Indonesia saat itu banyak dipandu mendiang Rüdiger Siebert. Selain berita, penyiar legendaris  yang punya nama udara “Bung Rudi” ini juga kerap membawakan acara kuis atau membacakan surat pendengar.

Saat menjumpai pendengarnya, tentu Bung Rudi menggunakan bahasa Indonesia. Dengan aksen Jerman, shownya jadi beda. Unik sekaligus memancing rasa penasaran.

Surat pendengar adalah acara paling saya tunggu, karena beberapa kali pula saya memperoleh hadiah atau suvenir. Mulai dari satu set pulpen berlogo DW, stiker, prangko hingga buku pelajaran bahasa Jerman (Deustch warum nicht?).

Selain DW, saya saat itu juga gemar mendengar siaran radio luar negeri lain yang mengudara dari gelombang SW. Hobi yang saya tekuni sejak kelas 5 SD.

Oia, saya "tertular" hobi ini dari almarhum Mbah di Yogya. Dia selalu menenteng radio transistor ke ruang tamu, teras dan kamar tidur.


Selain mendengar wayangan semalam suntuk dari RRI (tentu sambil tidur lelap hingga pagi), almarhum Mbah sangat sering mendengar siaran Radio Australia. Radio ABC berbahasa Indonesia yang punya ciri khas kicauan atau tawa (?) burung Kookaburra sebagai grand opening.


Redaksi Bahasa Indonesia tahun 90-an. Dari kiri: Mohammad Arsad, Asril Rdwan, Aan Lubis, Mariana Kwa, Rüdiger Siebert, Renate Schäfer, Anneliese Engelskamp, Tristiastini Soetrisno, Dewi Gunawan-Ladener, Gerard Bibang, Agus Setiawan, Emiel Indrakesuma.(Foto: dw.com)


Deutsche Welle  dan Semangat Pergerakan
Saban hari menyimak informasi dari radio luar negeri, membuat saya melek situasi di Indonesia. Ada pencerahan dan semangat perubahan dalam tiap informasi yang saya cerna.

Ini sangat menggembirakan, karena saat itu Orde Baru masih jaya-jayanya. Semua media juga dalam cengkeraman penguasa.

Siaran TV hanya dari satu stasiun yaitu TVRI. Media cetak isinya nyaris seragam semua. Berita baik tentang pemerintah.

Tak ada informasi pembanding, khususnya terkait kritik pada kebijakan menyangkut hajat hidup orang banyak.

Karena itu, mendengar radio luar negeri jadi semacam gerilya untuk mencari informasi alternatif yang lebih fair dan jernih tentang sebuah isu.


Jelang duduk di bangku SMA saya tetap setia mencari informasi dari DW atau radio asing lain. Deutsche Welle  makin bikin saya ketagihan, karena banyak menyampaikan informasi yang tak pernah ada di siaran televisi nasional juga koran nasional.

Setidaknya ada dua peristiwa besar nasional yang justru saya peroleh dari Deutsche Welle. Yang pertama tentang insiden Santa Cruz, Dili, Timor Timur (sekarang Timor Leste.red). Satu peristiwa berdarah yang menewaskan ratusan orang di kawasan pemakaman Santa Cruz, pada 12 November 1991. Berita besar, berdarah-darah, tapi sedikit media nasional yang membuat beritanya.

Dan peristiwa nasional berikutnya terjadi di tahun 1994. Ketika Presiden Soeharto membeli  39 kapal perang eks Jerman Timur.

Laporan dan ulasan DW yang disampaikan langsung oleh Bung Rudi membuat saya paham ada apa di balik pembelian kapal-kapal tersebut. Laporan Bung Rudi tak kalah tajam dengan beberapa majalah berita di tanah air.

Soeharto pun meradang dan ujungnya beberapa media cetak dibredel. Sementara radio-radio luar negeri berbahasa Indonesia dituding sebagai “Polusi”.

Beberapa kru mereka dilarang masuk Indonesia. Tahun 1994 menurut saya merupakan lahirnya perlawanan dari kelompok yang rindu perubahan di Indonesia.

Tak hanya itu, gelombang perlawanan lewat radio luar negeri terutama Deutsche Welle membuat saya memantapkan cita-cita untuk menjadi jurnalis, wartawan. Cita-cita yang Alhamdulillah tercapai. Karena saat ini saya bekerja di televisi berita.


Reformasi 1998
Hobi mendengar siaran radio Deustche Welle dan pengaruh gaya Bung Rudi menyampaikan berita membuat saya memilih jurnalistik sebagai jalan hidup. Pilihan yang membawa saya berkuliah di Ilmu Komunikasi, FISIP Universitas Sumatera Utara, Medan.

Saat kuliah, saya mulai jarang mendengar siaran radio luar negeri. Tidak sesering waktu duduk di SMP dan SMA.

Tapi tetap meluang waktu untuk mencari informasi alternatif, saat ada isu-isu besar. Krisis ekonomi yang berujung krisis sosial dan politik di Indonesia kembali membuat saya menjadikan siaran radio Deutsche Welle sebagai sumber berita pembanding.

Waktu itu, suara Bung Rudi yang khas dengan bahasa Indonesia beraksen Jerman jadi menu harian saya di pagi hari.

Ulasannya tentang krisis moneter yang mendera Indonesia, gejolak naiknya harga-harga kebutuhan pokok, dan bagaimana pandangan negara-negara Eropa tentang krisis Indonesia sangat membantu saya mencerna apa yang sedang terjadi di tanah air.


“Pencerahan” dari Bung Rudi dan Deutsche Welle turut memotivasi saya ikut turun ke jalan sejak Januari 1998.

Bergabung bersama mahasiswa lain, dalam gelombang demonstrasi besar-besaran yang makin sering pula diwarnai bentrokan dengan aparat keamanan. Semangatnya satu: Reformasi!

Saya tidak tahu, apakah para aktivis lain di tahun 1998 juga terpengaruh siaran radio luar negeri dalam memutuskan sikap politik mereka.

Namun yang pasti, Jerman, Deutsche Welle, Bung Rudi mempengaruhi sikap kritis saya. Gelombang SW yang naik turun kualitasnya, bahkan tidak pernah mengenal secara pribadi dengan Bung Rudi juga penyiar DW lain, bukanlah penghalang untuk bersama mengayuh gelombang besar melahirkan perubahan. (*)

#Tulisan ini pernah saya kirim untuk Blog DWnesia Deutsche Welle

Share
Banner

EKMALMNA

Post A Comment:

0 comments: