![]() |
Runtuhnya Tembok Berlin 1989.(Foto: Guardian) |
![]() |
Warga menghancurkan Tembok Berlin (Foto: Careline) |
9 November 1989, tembok Berlin yang memisahkan Berlin Barat dan Berlin Timur
sejak tahun 1961 itu roboh.
Gegap gempita warga Berlin Timur merobohkan tembok lalu ramai-ramai menyeberang ke Berlin Barat saya simak dari Tebing Tinggi sebuah kota kecil di Sumatera Utara, 78 kilometer dari ibu kota provinsi Medan.
Gegap gempita warga Berlin Timur merobohkan tembok lalu ramai-ramai menyeberang ke Berlin Barat saya simak dari Tebing Tinggi sebuah kota kecil di Sumatera Utara, 78 kilometer dari ibu kota provinsi Medan.
Saat peristiwa itu terjadi, saya berusia hampir 13 tahun atau baru beberapa bulan duduk di kelas 1 SMP. Mulai masuk masa remaja dan tertarik pada hal-hal berbau politik.
Beberapa hari sebelum tembok Berlin runtuh, lewat radio transistor 9 band, saya tiap pagi
mendengar radio Deutsche Welle (DW) Siaran Indonesia makin sering mengabarkan
gejolak sosial politik di Jerman Timur. Tentang unjuk rasa besar-besaran yang
kian merepotkan Presiden Jerman Timur kala itu Egon Krenz.
![]() |
Logo Deutche Welle tahun 1990-an. Logo ini menghiasi stiker dan suvenir yang banyak saya terima. |
Peristiwa itu sangat berkesan bagi saya. Siaran gelombang pendek Deutsche Welle di saluran SW yang tak stabil dan audionya
kerap hilang timbul, bukanlah penghalang. Diantara gelombang yang timbul tenggelam itu, tagline "Inilah Suara Jerman, Deutsche Welle!" justru melekat di hati.
![]() |
Logo Deutsche Welle saat ini. |
Berita DW amat mempesona. Voice over ditambah atmosfer sound unjuk rasa di Lapangan Alexanderplatz begitu mencekam. Atau kala pendemo ramai-ramai merobohkan tembok yang bertahun-tahun banyak memakan korban jiwa itu terasa hidup dalam imajinasi saya.
![]() |
Rudiger Siebert, penyiar favorit saya dan jutaan pendengar setia DW dari Indonesia. |
Siaran Radio Deutsche Welle
berbahasa Indonesia saat itu banyak dipandu mendiang Rüdiger Siebert.
Selain berita, penyiar legendaris yang
punya nama udara “Bung Rudi” ini juga kerap membawakan acara kuis atau
membacakan surat pendengar.
Saat menjumpai pendengarnya, tentu Bung Rudi menggunakan bahasa Indonesia. Dengan aksen Jerman, shownya jadi beda. Unik sekaligus memancing rasa penasaran.
Surat pendengar adalah acara paling saya tunggu, karena beberapa kali pula saya memperoleh hadiah atau suvenir. Mulai dari satu set pulpen berlogo DW, stiker, prangko hingga buku pelajaran bahasa Jerman (Deustch warum nicht?).
Saat menjumpai pendengarnya, tentu Bung Rudi menggunakan bahasa Indonesia. Dengan aksen Jerman, shownya jadi beda. Unik sekaligus memancing rasa penasaran.
Surat pendengar adalah acara paling saya tunggu, karena beberapa kali pula saya memperoleh hadiah atau suvenir. Mulai dari satu set pulpen berlogo DW, stiker, prangko hingga buku pelajaran bahasa Jerman (Deustch warum nicht?).
Selain DW, saya saat itu juga gemar mendengar siaran radio luar negeri lain yang mengudara dari gelombang SW. Hobi yang saya tekuni sejak kelas 5 SD.
Oia, saya "tertular" hobi ini dari almarhum Mbah di Yogya. Dia selalu menenteng radio transistor ke ruang tamu, teras dan kamar tidur.
Selain mendengar wayangan semalam suntuk dari RRI (tentu sambil tidur lelap hingga pagi), almarhum Mbah sangat sering mendengar siaran Radio Australia. Radio ABC berbahasa Indonesia yang punya ciri khas kicauan atau tawa (?) burung Kookaburra sebagai grand opening.
Deutsche Welle dan Semangat Pergerakan
Saban hari menyimak informasi dari radio luar negeri,
membuat saya melek situasi di Indonesia. Ada pencerahan dan semangat perubahan
dalam tiap informasi yang saya cerna.
Ini sangat menggembirakan, karena saat itu Orde Baru masih jaya-jayanya. Semua media juga dalam cengkeraman penguasa.
Siaran TV hanya dari satu stasiun yaitu TVRI. Media cetak isinya nyaris seragam semua. Berita baik tentang pemerintah.
Tak ada informasi pembanding, khususnya terkait kritik pada kebijakan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Ini sangat menggembirakan, karena saat itu Orde Baru masih jaya-jayanya. Semua media juga dalam cengkeraman penguasa.
Siaran TV hanya dari satu stasiun yaitu TVRI. Media cetak isinya nyaris seragam semua. Berita baik tentang pemerintah.
Tak ada informasi pembanding, khususnya terkait kritik pada kebijakan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Karena itu, mendengar radio luar negeri jadi semacam gerilya untuk mencari informasi alternatif yang lebih fair dan jernih tentang sebuah isu.
Jelang duduk di bangku SMA saya tetap setia mencari
informasi dari DW atau radio asing lain. Deutsche Welle makin bikin saya ketagihan, karena banyak
menyampaikan informasi yang tak pernah ada di siaran televisi nasional juga koran
nasional.
Setidaknya ada dua peristiwa besar nasional yang justru saya
peroleh dari Deutsche Welle. Yang pertama tentang insiden Santa Cruz, Dili,
Timor Timur (sekarang Timor Leste.red). Satu peristiwa berdarah yang menewaskan
ratusan orang di kawasan pemakaman Santa Cruz, pada 12 November 1991. Berita
besar, berdarah-darah, tapi sedikit media nasional yang membuat beritanya.
Dan peristiwa nasional berikutnya terjadi di tahun 1994.
Ketika Presiden Soeharto membeli 39
kapal perang eks Jerman Timur.
Laporan dan ulasan DW yang disampaikan langsung oleh Bung
Rudi membuat saya paham ada apa di balik pembelian kapal-kapal tersebut.
Laporan Bung Rudi tak kalah tajam dengan beberapa majalah berita di tanah
air.
Soeharto pun meradang dan ujungnya beberapa media cetak
dibredel. Sementara radio-radio luar negeri berbahasa Indonesia dituding
sebagai “Polusi”.
Beberapa kru mereka dilarang masuk Indonesia. Tahun 1994 menurut saya merupakan lahirnya perlawanan dari kelompok yang rindu perubahan di Indonesia.
Beberapa kru mereka dilarang masuk Indonesia. Tahun 1994 menurut saya merupakan lahirnya perlawanan dari kelompok yang rindu perubahan di Indonesia.
Tak hanya itu, gelombang perlawanan lewat radio luar negeri
terutama Deutsche Welle membuat saya memantapkan cita-cita untuk menjadi
jurnalis, wartawan. Cita-cita yang Alhamdulillah tercapai. Karena saat ini saya
bekerja di televisi berita.
Reformasi 1998
Hobi mendengar siaran radio Deustche Welle dan pengaruh gaya
Bung Rudi menyampaikan berita membuat saya memilih jurnalistik sebagai jalan
hidup. Pilihan yang membawa saya berkuliah di Ilmu Komunikasi, FISIP
Universitas Sumatera Utara, Medan.
Saat kuliah, saya mulai jarang mendengar siaran radio luar
negeri. Tidak sesering waktu duduk di SMP dan SMA.
Tapi tetap meluang waktu untuk mencari informasi alternatif, saat ada isu-isu besar. Krisis ekonomi yang berujung krisis sosial dan politik di Indonesia kembali membuat saya menjadikan siaran radio Deutsche Welle sebagai sumber berita pembanding.
Tapi tetap meluang waktu untuk mencari informasi alternatif, saat ada isu-isu besar. Krisis ekonomi yang berujung krisis sosial dan politik di Indonesia kembali membuat saya menjadikan siaran radio Deutsche Welle sebagai sumber berita pembanding.
Waktu itu, suara Bung Rudi yang khas dengan bahasa Indonesia
beraksen Jerman jadi menu harian saya di pagi hari.
Ulasannya tentang krisis moneter yang mendera Indonesia, gejolak naiknya harga-harga kebutuhan pokok, dan bagaimana pandangan negara-negara Eropa tentang krisis Indonesia sangat membantu saya mencerna apa yang sedang terjadi di tanah air.
Ulasannya tentang krisis moneter yang mendera Indonesia, gejolak naiknya harga-harga kebutuhan pokok, dan bagaimana pandangan negara-negara Eropa tentang krisis Indonesia sangat membantu saya mencerna apa yang sedang terjadi di tanah air.
“Pencerahan” dari Bung Rudi dan Deutsche Welle turut
memotivasi saya ikut turun ke jalan sejak Januari 1998.
Bergabung bersama mahasiswa lain, dalam gelombang demonstrasi besar-besaran yang makin sering pula diwarnai bentrokan dengan aparat keamanan. Semangatnya satu: Reformasi!
Bergabung bersama mahasiswa lain, dalam gelombang demonstrasi besar-besaran yang makin sering pula diwarnai bentrokan dengan aparat keamanan. Semangatnya satu: Reformasi!
Saya tidak tahu, apakah para aktivis lain di tahun 1998 juga terpengaruh siaran radio luar negeri dalam memutuskan sikap politik mereka.
Namun yang pasti, Jerman, Deutsche Welle, Bung Rudi mempengaruhi sikap kritis saya. Gelombang SW yang naik turun kualitasnya, bahkan tidak pernah mengenal secara pribadi dengan Bung Rudi juga penyiar DW lain, bukanlah penghalang untuk bersama mengayuh gelombang besar melahirkan perubahan. (*)
#Tulisan ini pernah saya kirim untuk Blog DWnesia Deutsche Welle
Post A Comment:
0 comments: