slider

Recent

Diberdayakan oleh Blogger.

Logo TVRI dari Masa ke Masa

  Logo TVRI sejak 2019. Lebih milenial tapi mirip DW Jerman Deutsche Welle atau DW adalah TV dan Radio plat merah Jerman. Selain untuk warga...

Cari Blog Ini

Navigation

Tangguhnya Mobil Keluarga Ideal Terbaik Indonesia














20 Oktober 2005
Usai lohor, aku bersama reporterku Desy Fitriani kembali meliput suasana terakhir banjir bandang di Desa Simpang, Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara.

Hari ini merupakan hari ketiga pascabanjir bandang menyapu desa yang berada di lereng Pegunungan Bukit Barisan itu.

Sisa-sisa air bah masih menggenangi beberapa sudut desa. Banjir kali memang dahsyat, terjadi 18 Oktober 2005 sekitar pukul 22.00 WIB, saat warga usai salat tarawih dan tadarusan. Hujan selama tiga hari membuat lereng yang gundul tak sanggup mencengkeram batu, tanah dan pepohonan.

Bak air terjun, air bah menggulung pemukiman warga. Beruntung saat kejadian, warga belum tertidur lelap. Ibadah tarawih membuat warga dapat menyelematkan jiwa mereka. Tercatat tiga warga tewas dan 19 orang luka-luka dalam kejadian tersebut.

Namun, air bah telah menyebabkan 639 KK atau 2500 jiwa mengungsi, 225 buah rumah hancur dan hanyut dihempas air.

Tak hanya rumah, fasilitas publik juga mengalami kerusakan. Diantaranya 3 sarana ibadah, 3 sekolah, dan Pasar Simpang Semadam. Di kanan kiri jalan yang kami lalui, terlihat jelas kerusakan sawah dan ladang setelah dihajar derasnya air bah bercampur lumpur dan bebatuan.

Banjir bandang yang terjadi di bulan Ramadan itu menghantam Desa Simpang Semadam, Desa Kampung Baru, Desa Titi Pasir, dan Desa Lawe Bringin Gayo. Semua terletak dalam Kecamatan Semadam Kabupaten Aceh Tenggara, sekitar 10 km dari Kutacane.

Siang itu, suasana lokasi bencana tampak sepi. Hujan deras yang terus mengguyur wilayah ini membuat warga khawatir terjadi banjir bandang susulan. Saat masuk ke Desa Semadam, suasana sepi sangat terasa. Hanya beberapa warga yang bertugas menjaga desa yang nampak, karena semua warga sudah mengungsi ke gedung olahraga di Kutacane.

Aku dan reporterku turun dari mobil kami, sebuah mobil kijang kapsul LGX. Kijang warna silver metalik yang punya sejarah panjang membantu liputan kru Metro TV selama di Nanggroe Aceh Darussalam. Kijang ini adalah kijang rental dari Lhokseumawe.

Sebelum tiba di Kutacane, kijang ini sudah melalukan perjalanan panjang dari Banda Aceh hingga ke Aceh Tamiang. Mengantarkan kru Metro TV meliput pemusnahan senjata GAM sebagai bagian dari pelaksanaan hasil perundingan damai.

Dari Aceh Tamiang, kijang LGX yang pernah diberondong Ak 47 itu digeber lagi menuju Sabang. Juga untuk melakukan peliputan pemusnahan senjata. Semua perjalanan kami lakukan dalam tempo 2 pekan secara marathon.

Tak jarang kami melakukan perjalanan pada malam hari, karena harus mengejar deadline dan mencegah kebobolan berita. Dan hebatnya, tak pernah sekalipun Kijang LGX mengulah dan bikin susah. Acungan jempol patut kami berikan kepada Syaiful, driver rental langganan kami yang rutin membawa si Kijang ke bengkel di sela-sela rehat.

Sebenarnya usai dari Sabang kami akan istirahat sejenak di Banda Aceh. Namun tiba-tiba saat dalam perjalanan pulang, ketika masih di atas kapal penyeberangan kami mendapat kabar Kutacane dihajar banjir bandang. Jakarta memerintahkan kami untuk langsung bergerak menuju Kutacane.

Maka kembali kami menggeber Toyota Kijang LGX untuk perjalanan panjang. Untuk menuju Kutacane kami harus menuju Medan, dan dari ibukota Sumatera Utara ini kemudian meneruskan perjalanan melewati Kabupaten Tanah Karo untuk terus menembus perbatasan Aceh Tenggara.

Benar-benar perjalanan yang melelahkan. Karena dilakukan tanpa henti dan badan mulai ngedrop. Dalam setiap peliputan besar dan luar biasa, kami selalu membawa kru dalam jumlah banyak. Terdiri dari reporter, kameraman, kru satelit , security dan tentu saja mobil satelit (SNG) agar bisa siaran live kapan saja dimana saja.

Setelah menempuh perjalanan satu hari satu malam, akhirnya kami tiba di Kutacane. Menyaksikan kedahsyatan banjir bandang melabrak pemukiman di lereng Pegunungan Leuser.

Kembali ke peliputan, usai turun dari mobil aku mulai merekam beberapa sudut desa Semadam. Desy kulihat mendekati seorang warga, menggali data mencari info menarik. Sementara driver kami masih stand by di dalam kijang.

Tiba-tiba saat aku merecord footage, kudengar orang-orang berteriak. "Banjir lagi, banjir lagi,"
teriak mereka sambil berlari-lari. Hujan semakin deras.

Dari lereng kudengar suara air mengalir deras, disertai suara batu saling beradu keras sekali. Suaranya bergemeretak. Pada saat seperti ini, keinginan menyelamatkan diri beradu dengan kewajiban mengabadikan peristiwa.

Kulihat Syaiful sudah memutar haluan, sekali sentak Kijang sudah mengarah ke Kutacane.
Desy ternyata juga sudah di dekat mobil, " Ambil gambarnya..." teriaknya.

Dengan secepat kilat kurekam suasana air meluncur di sepanjang lereng. Deras sekali, hingga batu-batuan beragam ukuran ikut menggelinding terbawa arus.

Setelah mengabadikan peristiwa ini sekitar 5 menitan aku langsung berlari menuju mobil. Bak film-film action, gerakan mobil dan air yang meluncur seperti saling intip. Ada kekhawatiran, mobil akan terjebak dalam luncuran batu dan air yang makin cepat meluncur!

Tapi Kijang memang tangguh, meski jalanan mulai dipenuhi bebatuan dan pasir kami berhasil melaluinya. Sedikit selip saat tancap gas, tapi kami akhirnya bisa melaju menuju Kutacane.

Hasil liputan ini akhirnya tayang di Headline News terdekat dan tentu saja dalam Metro Hari Ini. Tak sia-sia, dan tentu saja itu hasil kerjasama tim di dukung si Kijang yang tangguh. (*)
Share
Banner

EKMALMNA

Post A Comment:

0 comments: