slider

Recent

Diberdayakan oleh Blogger.

Logo TVRI dari Masa ke Masa

  Logo TVRI sejak 2019. Lebih milenial tapi mirip DW Jerman Deutsche Welle atau DW adalah TV dan Radio plat merah Jerman. Selain untuk warga...

Cari Blog Ini

Navigation

Aku dan Jakarta, Megapolitan yang Pernah Tak Kusuka

Suatu pagi di sudut lain Bundaran HI, Jakarta (Foto: Ekmal MNA)


Jakarta,

Aku pernah tidak menyukainya. Dulu, ketika aku lebih mencintai kotaku yang lama di Sumatera Utara sana.

Sebelum sekarang, banyak tawaran agar aku bekerja di megapolitan ini. "Jangan berlama-lama di daerah, kau berbakat. Kau akan lebih berkembang di pusat,"kata seorang kawan belasan tahun silam.

Tak satu pun yang kuiyakan. Sebab aku sangat menikmati setiap perjalanan ke sudut-sudut kota Medan yang tanpa kemacetan. 

Di Medan, dalam sehari, aku bisa kelima atau enam tempat. Entah untuk liputan, nongkrong atau nggak ngapa-ngapain di tempat-tempat baru.

Salah satu kegemaranku, lha memang itu. Menikmati perjalanan. Pergi dadakan tanpa tujuan, tanpa peta, google map atau apalah kalian sebut kecanggihan teknologi terkini.

Tak heran, jika aku langsung emoh, ketika ditawari pindah ke Jakarta."Tua di jalan Mas di Jakarta itu,"jawabku.

Dulu, kemacetan Jakarta adalah sebuah horor bagiku. Apa nikmatnya berjejalan di bus kota, atau dalam mobil sendiri tapi dibekap macet berjam-jam. Kebayang nerakanya, jika kebelet pipis saat terjebak macet.

Kini...

Jakarta adalah hari-hariku. Aku sudah terbiasa dengan kemacetannya. Aku menikmati panas dan sumpeknya berjejalan di KRL atau Transjakarta. Aku memanfaatkan momen itu untuk mengamati orang-orang sekitar.

Atau kalo kebelet pipis, ya tinggal turun. Cari pohon dan semak-semak....:) Jangan lupa tutupi muka dengan topi. Yang bawah mah sama aja kan semua?

Aku memang produk kelas jurnalistik lama. Yang untuk prakteknya, diminta nongkrong berjam-jam di sebuah taman atau di pinggir jalan. Mengamati, mencatat, nanya-nanya, lalu menuliskan dalam bentuk feature atau kalo malas ya straight news. 

Metode di kelas jurnalistik itulah, yang sampai kini tetap ngendap di memory. Kuakui, sangat efektif juga dosen kami dulu bikin kelas seperti itu.

Kembali ke Jakarta

Di tengah ketatnya deadline dan rutinitas digital di Palmerah, alhamdulillah sesekali masih sempat aku menikmati hobi lamaku. Menyusuri  kota tanpa tujuan.

Mengeksplorasi MRT dari Lebakbulus hingga Bundaran HI. Memotret, duduk bengong di kursi santai di trotoar yang lebar-lebar itu, sambil nyeruput kopi susu gula aren 15 ribuan membuat aku bernostalgia ke masa-masa kuliah. 

Teringat dosenku AS Atmadi yang sastrawan dan Redpel Waspada, teringat temen-temen seangkatan, dan terutama Tita Riana anak PS Humas yang justru demen hal-hal jurnalistik.

Jakarta, aku pada akhirnya tak sekadar menyukainya, tapi juga cinta. Tak cuma pada keindahan gedung menjulang seperti di seputaran bundaran HI, tapi juga cinta pada semua sisinya. 

Pada Banjir, tumpukan sampah, penjual gorengan yang ngeler dagangan tanpa ditutupi, sumpah serapahnya, juga hal-hal ajaib lain.

"Apakah kau akan menghabiskan hari tua di Jakarta?"tanya seorang kawan di Palmerah suatu ketika.

"Cinta itu tak selalu bersama selamanya...,"jawabku yang langsung teringat Yogya, Solo dan Bandung.


1 Mei 2021
Di pinggiran Jakarta




 


 

 

 




Share
Banner

EKMALMNA

Post A Comment:

0 comments: