slider

Recent

Diberdayakan oleh Blogger.

Logo TVRI dari Masa ke Masa

  Logo TVRI sejak 2019. Lebih milenial tapi mirip DW Jerman Deutsche Welle atau DW adalah TV dan Radio plat merah Jerman. Selain untuk warga...

Cari Blog Ini

Navigation

Dapat Rp 50 Ribu Pun Susah




Diskusi Bersama Zulfahri Siagian, Ketua HNSI Kota Medan



KEHIDUPAN nelayan di Indonesia memang tetap terpuruk. Sejak tahun 2010, kondisi mereka semakin memprihatinkan. Selain tertinggal pendidikan, mereka juga semakin tak berdaya secara ekonomi.

"Dulu sebelum tahun 2010, nelayan bisa bawa pulang uang ke rumah Rp 200 ribu. Tapi sekarang untuk dapat Rp 50 ribu pun susah," kata Zulfahri Siagian, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Medan ketika berdiskusi di kantor redaksi Harian Tribun Medan di Jl Gatot Subroto, Medan, Sabtu (10/12).

Kepada Tribun Medan, Zulfahri banyak menceritakan kondisi buruk di kalangan nelayan Medan. Umumnya nelayan Medan tersebar di Medan Belawan, Medan Labuhan dan Medan Marelan. Menurut data HNSI saat ini di Gabion terdapat 3.000 nelayan dan 12 ribu lagi di luar Gabion.

Zulfahri menjelaskan, kondisi para nelayan memburuk karena lingkungan sekitar pantai Belawan sudah rusak parah akibat pencemaran limbah dari ratusan industri di Belawan. Laut Belawan makin memprihatinkan karena banyak sampah rumah tangga yang dibuang dari hulu hingga hilir Sungai Deli.

" Akibatnya sangat mengejutkan, hasil penelitian kami saat ini ada 16 jenis ikan yang sudah hilang dari perairan di dekat pantai Belawan," kata Zul sambil menyebutkan beberapa jenis ikan yang hilang seperti ikan lundu, ikan bedukang, ikan pasir, ikan kerapu, ikan kakap, udang pinggir dan ikan senangin pinggir.

HNSI tidak asal mengklaim kerusakan lingkungan ini. Mereka punya bukti yang sangat mudah dilihat dengan mata telanjang. Kerusakan lingkungan secara alami bisa ditunjukkan oleh matinya hutan-hutan bakau di sekitar Belawan. Lalu banyaknya lumpur di sekitar pantai.

Puncaknya pada 29 Juni silam, HNSI bersama Pemko Medan menggelar gerakan bersih pantai. 74 perahu nelayan dibantu TNI dan Polri mengutip sampah-sampah dari Kampung Kurnia hingga Gabion.

Hasilnya lumayan mengejutkan, dalam dua jam aksi bersih pantai itu mereka berhasil mengumpulkan segala macam sampah dan limbah seberat 25 ton.

Karena sepinya ikan akibat limbah, para nelayan akhirnya terpaksa melaut jauh ke tengah hingga mendekati Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia. Di titik ini mereka kembali menuai masalah, dihadang dan ditangkapi polisi laut Malaysia.

Dari catatan HNSI Medan, saat ini masih ada 62 nelayan Sumatera Utara yang masih mendekam di berbagai penjara di negeri jiran itu.

Belum usai derita mereka, pemerintah membuka keran impor ikan dari China. Impor ikan dilakukan pemerintah dengan alasan nelayan lokal tak sanggup memenuhi kebutuhan pasar.

" Padahal impor ikan itu hanya cara instan. Seharusnya pemerintah memperkuat para nelayan lokal agar bisa bersaing dan menghasilkan banyak ikan," tegas Zulfahri.

Menurut Zulfahri nelayan tidak bisa bersaing karena memang kondisinya mendukung. Untuk melaut mereka harus membeli solar dengan harga Rp 6 ribu per liter dan beli es untuk mengawetkan ikan dengan harga Rp 18 ribu per batang.

Sementara, kapal-kapal asing punya teknologi lebih canggih dan berdaya saing tinggi karena biaya produksi murah.

" Kayak mana nggak kalah nelayan kita?"ungkap Zulfahri dengan nada miris.(ibr/em)

Tulisan ini pernah terbit di Harian Tribun Medan, 11 Desember 2011
Share
Banner

EKMALMNA

Post A Comment:

0 comments: