slider

Recent

Diberdayakan oleh Blogger.

Logo TVRI dari Masa ke Masa

  Logo TVRI sejak 2019. Lebih milenial tapi mirip DW Jerman Deutsche Welle atau DW adalah TV dan Radio plat merah Jerman. Selain untuk warga...

Cari Blog Ini

Navigation

Karyanya Terjual 310 Ribu Keping



Diskusi bersama Pontyanus Gea, Sutradara Film Anakku Sasada



PERNAH
menonton film VCD Anakku Sasada? Film produksi Constellazione Medan ini ternyata laris manis di pasaran.Sejak diluncurkan Juni 2011 hingga kini sudah terjual 50 ribu keping. Siapa mengira, jika sutradara film berbahasa Batak ini hanya jebolan kelas 1 sekolah dasar yang tak bisa baca tulis?

Sutradara itu bernama Pontyanus Gea, putra Nias yang pada awal Desember lalu kembali merilis film ketiga berjudul Samadoni Tao. Belum genap sebulan film, film yang berkisah soal perebutan harta warisan di Nias itu sudah terjual 40 ribu keping.

Jauh sebelumnya, tahun 2007 Ponty (begitu dia akrab disapa) merilis film Ono Sitefeyu. Film 11 seri ini lebih heboh lagi, laris manis di pasaran. Terakhir penjualan VCD film perdana Ponty ini menyentuh angka 220 ribu keping.

Pada akhir pekan lalu, Ponty hadir di kantor Harian Tribun Medan, Jl Gatot Subroto, Medan. Dia tidak sendirian, tapi ditemani Mulianta sahabat karib sekaligus motivator hidupnya.

Kepada Tribun, Mulianta membuka kisah seorang Ponty. Dia bertutur, sutradara kelahiran Desa Onowaembo Idanoi, 4 Mei 1974 ini seorang yang buta aksara. Tak bisa membaca dan tak bisa pula menulis. Namun, yang mencengangkan Mulianta, saat tiba di Medan tahun 1995 Ponty sangat fasih berbahasa Inggris. Mereka bertemu di Gen House sebuah lembaga binaan Focolare dari Italia.

"Dia hanya jebolan kelas 1 SD dan sejak kecil sudah merantau di Sibolga. Dari keluarga miskin, tapi harus saya akui Ponty punya tekat kuat Punya kekuatan dari ketiadaan, Power of Nothing," kata Mulianta.

Ponty mengakui dia bisa bahasa Inggris karena lama menggelandang di sekitar Pelabuhan Sibolga. Sambil menjual koran, dia nekad menyapa dan mengajak ngobrol turis-turis asing.Dari sinilah dia mahir bahasa Inggris, meski dia tak bisa menulis juga membaca.

"Karena banyak bergaul dengan turis-turis asing, lama kelamaan saya jadi bisa bahasa Inggris. Tapi untuk membaca dan menulisnya nggak tahu," kata Ponty sambil tertawa separuh bangga, separuh malu.

Lama berkecimpung di Gen House, mengantarkan Ponty berangkat ke Swiss dan akhirnya ke Italia. Di Virenze, Italia inilah Ponty belajar membuat film. Peralatan pertama yang dimilikinya komputer Apple seharga Rp 32 juta plus program Final Cut Pro.

" Tapi saya kebingungan memakainya," ungkap Ponty yang mengaku belajar film karena ingin menjadi manusia yang punya skill khusus." Harus punya skill, karena kalau hanya punya uang manusia itu tetap tak bisa apa-apa,"

Ponty menuturkan, semua sukses saat ini berawal dari kesulitan dan kepahitan hidup yang dijalani sejak kecil.

"Sejak saya bayi, ayah saya sudah meninggal. Hutang dimana-mana. Rasanya nggak berguna hidup ini tanpa pendidikan," ujar Ponty yang memiliki 4 saudara yang seluruhnya tidak tamat SD.

Ia meyakini bahwa proses yang selama ini ia lakukan, dengan bekal ilmu dari Scuola Gen, Geneva Switzerland yang dikecapnya di tahun 2003, akan bermuara pada sebuah karya layar lebar yang bisa mengangkat budaya di Sumut. Dan sempat beberapa kali ia meyakinkan bahwa hal itu tidaklah lama lagi.

Kembali ke Sumatera Utara, suami dari Emilia Sarumaha mulai terusik untuk membuat film. Dia memilih setting Nias karena ingin mengangkat daerah yang terkenal indah itu. Sekaligus Ponty ingin melakukan kontrol sosial tentang sejumlah mindset keliru di daerah asalnya itu.

" Saya ingin mengubah mindset Nias. Yang selalu dicitrakan tertinggal, negatif, seram, dan mistik," kata Ponty yang berharap filmnya bisa pula mencerahkan warga Nias agar bersemangat mewarnai hidup di dunia.

Tak heran, jika untuk film-filmnya dia selalu mencasting dan merekrut tenaga pemuda-pemudi kampung. Yang sama sekali tak kenal dunia akting dan juga bergaya di depan kamera. Semua serba alami. Supaya lancar, biasanya Ponty membuat camp produksi selama satu bulan.

"Selera saya agak berbeda. Saya mencoba memberdayakan anak yang tidak pernah berhadapan dengan lensa. Itu tantangan buat saya. Kalau buat film, pemainnya artis itu kan sudah biasa. Itu memang sulit, tapi saya menemukan talenta saya di situ," ujarnya yang mengaku habis Rp 500 juta untuk produksi satu film.

Dengan prestasi 310 ribu keping VCD dari tiga film yang sukses dibuat sejak 2007, Ponty tetap belum mengenal kata puas untuk terus berkarya.

Terbukti, saat ini dia juga sedang menggarap film yang berkisah soal adat pernikahan Nias yang dikritiknya sangat mahal dan kerap menyisakan hutang bagi dua keluarga.

"Saya tidak bangga menjadi seperti ini, tapi saya bangga kalau pesan di film saya sampai ke penonton. Saya bangga jika penonton bisa menangis saat menyaksikan film-film saya,"kata Ponty megakhiri diskusi.(zli/em)

Tulisan ini pernah terbit di Harian Tribun Medan, 1 Januari 2012
Share
Banner

EKMALMNA

Post A Comment:

0 comments: