slider

Recent

Diberdayakan oleh Blogger.

Logo TVRI dari Masa ke Masa

  Logo TVRI sejak 2019. Lebih milenial tapi mirip DW Jerman Deutsche Welle atau DW adalah TV dan Radio plat merah Jerman. Selain untuk warga...

Cari Blog Ini

Navigation

Si Anak Badai. Menyemai Kekritisan Lewat Kisah Petualangan



Si Anak Badai adalah karya pertama Tere Liye yang saya baca. Bukan karena isi atau judulnya yang membuat saya membeli buku ini. Bukan pula karena nama Tere Liye yang awalnya saya kira pengarang asal India, karena namanya rada Bollywood. 

Dorongan untuk mengeluarkan isi dompet di meja kasir, justru dipicu rasa penasaran pada kombinasi siluet perahu, rembulan dan permukiman nelayan di covernya. Bersampul dominan warna oranye membuat Si Anak Badai provokatif sekaligus nyeni. Langsung menarik perhatian konsumen seperti saya saat menyusuri rak-rak buku fiksi.

Si Anak Badai adalah buku bergenre petualangan, dengan segmen segala umur. Gaya bahasanya ringan. Tak terlalu banyak metafora juga kalimat-kalimat bersayap  khas sastra kelas berat. Membaca tanpa mengernyitkan kening, tampaknya jadi pilihan Tere Liye dan Sarippudin sebagai Co-author mengemas imajinasinya dalam buku ini. Opsi yang membuat buku setebal 318 halaman ini enak dinikmati dan mudah dicerna anak-anak serta remaja juga orang dewasa seperti saya.

Kuatnya Karakter Tokoh
Si Anak Badai bertutur seputar kehidupan anak-anak Manowa, sebuah kampung di provinsi yang hanya Tere Liye seorang yang tahu. Zaenal atau Za sebagai tokoh utama bersama sahabatnya Ode yang bossy, Malim yang bercita-cita jadi saudagar besar , dan Awang anak nelayan jagoan nyelam.

Mereka anak-anak kelas 6 SD yang saban hari Minggu atau tanggal merah mencari tambahan uang saku dengan berlomba menyelam berebut uang logam yang dilemparkan penumpang kapal yang melintas perairan Manowa. Hasil menyelam tak cuma untuk membeli alat tulis, tapi juga poya-poya. Istilah mereka untuk menikmati dua tiga pisang goreng plus sekaleng susu  cap beruang di warung Kak Ros.

Selain empat sekawan, ada pula tokoh pendukung: Fatah dan Thiyah adik-adik Za. Mamak dan Zul bapaknya Za. Keluarga kecil sederhana berumah di atas kampung panggung yang jalanan lingkungannya dari deretan papan kayu ulin.

Keluarga Za berhasil digarap Tere Liye secara kuat. Dialog-dialog di keluarga pegawai kantor kecamatan tersebut alami tapi bermakna. Saya terkesan dengan penokohan Mamak, ibunya  Za. Seorang penjahit andalan kampung Manowa,  sosok ibu yang tegas sekaligus penyayang. Tapi tak segan mengakui kesalahan.

Tak cuma itu,  marahnya Mamak bahkan lebih dikhawatirkan  Za dan adik-adiknya  dibanding keresahan menghadapi Pak Kapten, pensiunan orang kapal yang terkenal galak di kampung Manowa dan  gemar mengancam mengutuk anak-anak bandel jadi kodok.

“Jangan macam-macam! Nanti aku ubah kalian jadi kodok muara. Lidahku ini pahit, bertuah. Kalau aku katakan jadi batu, maka kalian jadi batu,”itulah ancaman Pak Kapten yang membuat anak-anak Manowa juga pejabat negara sekelas Camat Tiong mengkerut. Tapi segalak-galaknya Pak Kapten, tetaplah lebih sangar Mamak bagi Za, Fatah dan Thiyah.



Bahasa Sederhana &  Deskripsi Seperlunya
Bahasa yang ringan dan tidak mendayu-dayu. Deskripsi yang tak genit menyinggung detil-detil sejarah atau menggambarkan benda-benda jadi salah satu kekuatan buku ini. Apa itu deskripsi yang genit menurut saya? Begini lho, saya pernah membaca novel bersegmentasi sama dengan buku ini. Segmen semua umur dan petualangan.

Si pengarang dalam buku yang juga best seller itu gemar sekali mendeskripsikan secara detil benda-benda di sekitar tokohnya. Entah itu embun, tetumbuhan, sejarah wilayah, atau sekadar cerita batu-batu.Hampir tiap paragraf dan tiap bab ada bumbu deskriptif detil yang menurut saya bertele-tele. Membuat saya segera melompat halaman dan melakukan baca cepat. Bukan salah penulisnya juga sih, saya saja yang mungkin kurang pas dengan penyajian seperti itu.

Dan, kegenitan itu tidak saya jumpai di Si Anak Badai. Saya tak temui, deskripsi detil tentang kayu ulin, atau Gulai Pelus. Atau malah tentang kondisi bawah air muara Manowa. Pun penjelasan perihal jenis kapal-kapal yang jadi target operasi mencari koin bagi Za dan sahabatnya. 

Semua ditulis lugas dan seperlunya oleh Tere Liye. Tak ada penjelasan tentang rute, kapasitas angkut juga desain kapal Samudra Jaya 1990, Benua Biru atau Lembayung Senja. Apakah ketiadaan detil ini menggangu kenikmatan membaca? Menurut saya justru tidak. Kalau tak percaya segeralah baca buku ini.

Menyemai Keberanian, Menularkan Kekritisan
Lalu apa yang membuat buku ini istimewa dan berbeda dibanding buku-buku sejenis? Di balik kesederhanaan gaya bahasa dan kekuatan karakter tokoh-tokohnya, Tere Liye menyisipkan kritik pembangunan.

Bila Za, Pak Kapten juga Wak Sidik mewakili rakyat, maka sosok Alexander alias Alex atau biasa dipanggil Alex Saja oleh Pak Kapten, Camat Tiong yang lemah, serta Utusan Gubernur bernama “Pak Siapalah” adalah tokoh-tokoh yang mewakili pemerintah dalam fiksi ini.

Meski fiksi dan menyasar anak-anak hingga remaja (jika boleh saya sebut begitu) , jangan anggap remeh bagaimana Tere Liye mengemas kritik sosialnya. Membaca alur Si Anak Badai, saya jadi teringat teori modernisasi. Sebuah teori pembangunan yang angkuh serta kerap menganggap rakyat tradisional dan pinggiran sebagai dunia tertinggal. Menganggap pemerintah selalu benar dan perlawanan adalah salah. Modernisasi adalah soal hitam putih. Modernisasi hanya soal maju dan tertinggal.Untung rugi belaka.

Pembangunan pelabuhan yang bakal menghapus Manowa dari peta jadi pangkal konflik dalam buku ini. Padahal Manowa punya kekayaan budaya sendiri. Kearifan yang menurut kepala kampung, Wak Sidik sudah ada sejak zaman Fatahillah.

Lihat bagaimana cara Tere Liye bermain diksi sederhana yang mudah dicerna, tapi menggugah kita untuk kritis menyimak problem pembangunan. Menelanjangi pesan penguasa membajak perubahan yang tak selalu membawa kebaikan bagi warganya.

“Bapak-bapak, saya datang ke sini untuk membawa perubahan pada kehidupan Bapak-bapak. Masyarakat  yang tertinggal, rumah tidak layak, fasilitas MCK buruk, anak-anak terkena diare dan berbagai penyakit. Saya akan mengubahnya menjadi lebih baik,”kata Pak Alex, utusan Gubernur saat pertemuan perdana dengan warga Manowa (halaman 84).

Lalu bagaimana reaksi warga Manowa? Apakah iya-iya saja dan manut nurut? Ternyata tidak, Tere Liye sebagai dalang dengan cerdas memberi geliat perlawanan lewat jawaban Wak Tukal. Warga Manowa yang dideskripsikan lebih sopan dan lembut dibanding Pak Kapten.

“Maaf, tadi Pak Alex yang terhormat bilang kakus kami buruk, nah di antara gambar itu, bisakah Pak Alex yang terhormat menunjukkan dimana kakus kami yang baik akan dibangun?” kata Wak Tukal seperti tertulis di halaman 85.

Pembangunan versus Buang Hajat Sembarangan
Menjungkirbalikkan kemunafikan pembangunan yang menggilas masyarakat tradisional, tak melulu harus disampaikan dengan keras. Metafora urusan buang hajat, bisa jadi cara sederhana tapi menggelitik. Dialog pada halaman 148 berhasil membuat saya ngakak.

“Buang hajat di sungai itu namanya sembarangan,”begitu kata Utusan Gubernur yang dipanggil “Pak Siapalah” sambil meneruskan langkah meninjau desa Manowa.

Penyebutan “Pak Siapalah” oleh Pak Kapten juga menggambarkan betapa sombongnya penguasa, karena tak pernah mengenalkan namanya kepada warga yang dikunjunginya.

Kata-kata Pak Siapalah sontak membuat anak Manowa seperti Sinbad tertegun. Anak-anak yang lain juga saling pandang, bingung. Kami sudah sebesar ini, tapi baru kali ini ada orang yang bertanya soal kami buat hajat di mana. Utusan Gubernur pula yang bertanya.



Dan puncak kesombongan penguasa menurut saya terwakili oleh petikan dialog halaman 151  ini,“Perkara kuburan itu lebih gampang. Tinggal dipindah saja. Lebih mudah memindahkan yang sudah mati daripada yang masih hidup, bukan?”


Hukum Sesat dan Politisi yang Terbeli
Tokoh perlawanan Manowa adalah Pak Kapten. Sosok galak  yang akhirnya dirindukan Za dan teman-temannya. Pak Kapten yang tak bisa menerima rencana penggusuran Manowa menggalang warga untuk melawan. Dua jalur dipilihnya; diplomasi dengan menasehati Camat Tiong yang seharusnya bisa melindungi warga dan berpihak kepada mereka. Serta jalur keras, memprovokasi warga lewat pemutaran film layar tancap.

 “Sekarang orang-orang pintar itu akan membuat pelabuhan di sini. Mereka tidak tahu apa dampaknya bagi kita. Lebih celakanya lagi, mereka tidak peduli apa akibatnya bagi kita. Yang penting pelabuhan itu jadi, yang penting mereka mendapat uang banyak dari pembangunan pelabuhan.” Kata Pak Kapten yang tertulis di halaman 98.Diksinya sederhana, mudah dicerna semua usia.



“Kau orang berpendidikan, bukan? Jadilah pemberani seperti tukang cuci piring tadi. Bahkan dia berani melompat ke lautan agar membuka mata nakhoda dan kelasi senior lainnya. Paham kau?” nasehat Pak Kapten kepada Camat Tiong (halaman 142).

Pada akhirnya, Pak Kapten menjadi martir.“Kalau begitu, Bapak telah menghalangi pembangunan pelabuhan di Manowa. Bapak melawan keputusan pemerintah.” Kata Utusan Gubernur seperti dicuplik dari halaman 151.



Atas nama pembangunan, Pak Kapten pun ditangkap polisi. Untuk kasus yang sudah berlalu sepuluh tahun lampau. Dituding jadi dalang pembakaran kapal Maju Sejahtera. Penangkapan Pak Kapten yang dituturkan di Bab 19, adalah gambaran praktik hukum sesat sekaligus risiko yang kerap dihadapi para oposan. Belakangan terungkap saksi-saksi yang memberatkan Pak Kapten sudah dibeli, termasuk para politisi yang mengamini pembangunan pelabuhan Manowa.

Membaca Si Anak Badai, ini bukan buku petualangan biasa. Ada benih-benih berpikir merdeka dan kritis dalam karya Tere Liye ini. (Foto pribadi)


Bukan Buku Biasa
Setelah membaca dan mencerna Si Anak Badai, saya berpendapat ini bukan buku petualangan biasa. Bukan genre petualangan seperti kisah-kisah bocah memecahkan misteri harta karun. Lebih dari itu, ini adalah buku yang menginspirasi sekaligus menyengat. Ada gelak tawa juga persahabatan anak-anak laut. Ada kesederhanaan dan cinta keluarga. Dan puncaknya, di balik bahasanya yang sederhana serta  mudah dicerna, ada benih-benih berpikir merdeka dan kritis pada penguasa. (*)


#####
Alhamdulillah resensi ini masuk 10 Resensi Pilihan. Terimakasih Buku Republika.










Share
Banner

EKMALMNA

Post A Comment:

0 comments: