Penakluk Badai adalah novel biografi perjalanan hidup seorang ulama besar Indonesia: KH Hasyim Asy’ari. Sesuai judulnya, buku setebal 562 halaman terbitan Penerbit Republika ini mengajak pembaca menyelami pemikiran, falsafah dan sekaligus memperlihatkan perjuangan seorang Hasyim Asy’ari sejak kanak-kanak hingga wafat 25 Juli 1947.
Pengarang Aguk Irawan, yang merupakan alumni Pesantren Darul Ulum, Langitan dan peraih beasiswa Universitas Al Azhar, Kairo menurut saya sanggup menghadirkan sosok Hadratusyeikh Hasyim Asy’ari dalam tiap lembar halaman karyanya ini.
Pilihan untuk mengemas biografi tokoh besar dalam balutan novel juga sangat tepat. Karena dengan pilihan ini, pengarang dapat lebih lincah, lebih hidup dan lebih dramatis menampilkan momen-momen istimewa bahkan momen sedih sepanjang perjalanan hidup pendiri Nadhlatul Ulama tersebut.
Pada Bab 4: Pesona Ilmu Para Guru contohnya. Bab ini tentunya akan datar-datar saja jika tidak dikemas ala novel. Namun, dengan gaya bertutur dan “nyastra” bab yang berisi 25 halaman ini menurut saya jadi salah satu bab terbaik di buku ini.
Di bab 4, pengarang berhasil menghadirkan keceriaan dunia pesantren. Menuturkan persahabatan Hasyim Asy’ari yang baru berusia 14 tahun dengan Muhammad Darwis alias KH Ahmad Dahlan santri berusia 16 tahun saat sama-sama berguru pada KH Sholeh Darat di Kabupaten Semarang.
Secara lincah, pengarang mampu menggambarkan persaingan Hasyim dan Dahlan muda dalam beramal sholeh, termasuk berlomba berkhidmat kepada kiai mereka. Perlombaan dua santri ini untuk menata sandal Kiai Sholeh Darat mampu membuat saya tersenyum dan seperti melihat langsung adegan-adegan ini.
Kiai Sholeh Darat merupakan ulama besar di pesisir Utara Jawa. Pelopor penulisan buku-buku agama dalam bahasa Jawa. Termasuk menerjemahkan Al Quran, hal yang dilarang Pemerintah Kolonial Belanda saat itu.
Kebijakan ini, memang bertujuan untuk memadamkan semangat jihad, membunuh motivasi dan menghentikan perlawanan masyarakat negeri jajahan sejak dalam pikiran.
Namun itu diterabas Kiai Sholeh. Jangan heran, sebab darah anti kolonialisme Kiai Sholeh mengalir dari sang ayah yang merupakan pejuang dalam barisan Pangeran Diponegoro.
Kebijakan ini, memang bertujuan untuk memadamkan semangat jihad, membunuh motivasi dan menghentikan perlawanan masyarakat negeri jajahan sejak dalam pikiran.
Namun itu diterabas Kiai Sholeh. Jangan heran, sebab darah anti kolonialisme Kiai Sholeh mengalir dari sang ayah yang merupakan pejuang dalam barisan Pangeran Diponegoro.
Selain Hasyim dan Dahlan, Kiai Sholeh juga punya murid lain yakni RA Kartini. Murid pengajian yang mengaku tercerahkan, setelah membaca surah Al Fatihah yang diterjemahkan Kiai Sholeh dengan bahasa pegon (huruf arab dengan menggunakan bahasa Jawa).
Indahnya persahabatan Hasyim dan Dahlan, sempat membuat Hasyim kesepian dan rindu suasana di Semarang. Mereka kembali dipertemukan di Bab 10. Saat Ahmad Dahlan yang sudah mendirikan organisasi Muhammadiyah mengunjungi pesantren Tebuireng yang didirikan Hasyim. Perbedaan cara memperjuangan Islam dan keislaman diantaranya keduanya, tak membuat persabahatan mereka rusak apalagi bubar.
Dalam buku ini, kita juga bisa menyerap buah pikiran Hasyim Asy’ari. Mulai dari pilihannya mendirikan Pesantren di kawasan hitam Tebuireng. Meski berawal penuh cibiran, namun perjuangan dengan senyum dan kemampuan mencontohkan Islam Rahmatan lil alamin membuat Hasyim bisa mengubah kawasan maksiat itu jadi wilayah yang barokah.
Atau revolusi Hasyim di dunia pesantren. Sepulang dari Mekkah, dia menghadirkan sistem belajar mengajar yang diluar pakem. Mengubah belajar satu arah, menjadi sistem diskusi.
Dia menyebutnya “musyawarah”, untuk sistem yang membolehkan para santrinya untuk berdebat dan tukar pikiran. Agar santrinya punya wawasan luas, Hasyim juga mengajarkan pelajaran sejarah, geografi dan bahasa Belanda.
Dia menyebutnya “musyawarah”, untuk sistem yang membolehkan para santrinya untuk berdebat dan tukar pikiran. Agar santrinya punya wawasan luas, Hasyim juga mengajarkan pelajaran sejarah, geografi dan bahasa Belanda.
Tak hanya di bidang pendidikan. Darah antipenjajahan Hasyim Asy’ari pun sudah terlihat sejak dia mulai mendirikan Pesantren Tebuireng. Untuk memutus kemiskinan (yang jadi akar kejahatan dan kemaksiatan), dia ajak masyarakat sekitar tidak lagi menyewakan lahan kepada Belanda serta melakukan aksi mogok di pabrik gula. Perlawanan yang dibalas Belanda dengan membakar pesantren Tebuireng.
KH Hasyim Asy'ari dan fatwa jihadnya, membuat perlawanan kepada penjajah Jepang berkobar dimana-mana. |
Aksi boikot seperti ini, terulang lagi di zaman Jepang. Karena tak tahan melihat rakyat menderita, Hasyim melakukan perlawanan. Warga diminta mogok kerja berhari-hari. Termasuk mengharamkan muslim pribumi menyanyi Kimigayo, menghormat bendera Hinomaru, dan ikut upacara seikeirei - sebuah ritual membungkuk menghadap matahari yang diterapkan Jepang kepada warga jajahan. Perlawanan ini berujung ditangkapnya Hasyim. Selama 4 bulan dia dipenjara dan disiksa. Kisah dalam penjara ini juga hadir dramatis di bab 19.
Sisi ulama yang heroik kembali muncul, saat Belanda ingin menjajah Indonesia lagi. Dalam buku ini, tergambar jelas peran Hasyim dan seruan jihadnya yang membuat Belanda dan sekutu mendapat perlawanan hebat di perang Surabaya 10 November.
Islam yang taat, Islam yang indah, berjiwa revolusioner, anti penjajah, dan cinta persatuan itulah impresi yang saya dapat dari buku Penakluk Badai ini. Semangat persatuan, tak ingin membuat umat Islam terpecah pula yang membuat Hasyim berpikir matang-matang, termasuk melibatkan Sang Pencipta saat akan mendirikan Nahdlatul Ulama.
KH Hasyim Asy'ari selalu mengutamakan persatuan dan keutuhan umat Islam. Termasuk saat menengahi perbedaan pihak Islam modern dengan Islam tradisional. Janganlah perbedaan menyebabkan permusuhan! |
Dari buku ini, saya akhirnya memperoleh gambaran jelas seperti apa Nahdlatul Ulama yang dicita-citakan Hasyim Asy’ari. Bagaimana dia menyikapi perbedaan, baik antara sesama umat Islam, maupun dengan non-islam. Buku ini sangat layak dibaca seluruh masyarakat. Karena banyak nilai-nilai positif yang masih bisa diterapkan untuk kehidupan berbangsa saat ini.(*)
===
Alhamdulillah, tulisan ini menang dilomba resensi bukurepublika.
===
Alhamdulillah, tulisan ini menang dilomba resensi bukurepublika.
Ekmal, ajarin nulis resensi buku dooooong.... . Salam kenal.
BalasHapusSaya jd tertarik baca buku ini... . Belom baca
Mohon maaf banget. Setahun lebih baru baca komen ini karena pesan selama itu nyangkut di halaman moderasi.Salam kenal dan terimakasih udah blokwalking
Hapus