slider

Recent

Diberdayakan oleh Blogger.

Logo TVRI dari Masa ke Masa

  Logo TVRI sejak 2019. Lebih milenial tapi mirip DW Jerman Deutsche Welle atau DW adalah TV dan Radio plat merah Jerman. Selain untuk warga...

Cari Blog Ini

Navigation

Jadi Kutu Buku karena Dendam

Buku Pramoedya Ananta Toer ini kubeli saat hunting buku bekas di Titi Gantung, Medan sekitar tahun 1999 -2000. Harganya? nggak sampai sepuluh ribu (Kalau nggak salah ingat sekitar 5000 rupiah deh). Bumi Manusia cetakan pertama Hasta Mitra ini akhirnya kujual online di tahun 2018, seharga Rp 150 rupiah.


Sejak kecil, aku dikenal sebagai anak kutu buku. Bukan karena senang membaca dari lahir, tapi karena "dendam".

Aku baru bisa lancar membaca di kelas 2 SD, meski waktu di kelas 1 aku selalu masuk rangking 2 besar di kelas (anehkan??). Jangan heran, karena di kelas 1 waktu itu masih bermain sambil belajar ala anak TK. 

Begitu kelas dua, mulai deh ada pelajaran maju ke depan siswa lain dan guru lalu diminta membaca buku. Nah, di sinilah aku mulai kewalahan. Temen-temen lain pada bisa lancar membaca, sementara aku masih terbata-bata sambil mengeja.

Rasanya malu banget, ketahuan nggak bisa lancar membaca. Membuatku selalu keringat dingin dan basah kuyup (tapi nggak sampai ngompol lho..), tiap disuruh guru maju ke depan.

Untungnya, guru kelasku baik banget. Bu Liliek namanya, guru muda dan sepertinya baru lulus IKIP. Dia sangat sabar mengajar. Termasuk mengajariku membaca.

Karena ketahuan belum bisa baca, Bu Liliek berkirim pesan ke orangtuaku supaya mengajari aku di rumah. Sayangnya, ibuku kurang sabar mengajariku membaca. Setiap belajar membaca usai magrib, pasti aku menangis dan uring-uringan. 

Bayangin, membaca sambil mengeja kata "B-O-B-O" saja aku nggak bisa.

Selalu mulutku membacanya jadi "BODO". Ibuku yang kurang sabar, sampai memukulkan pensil ke kepalaku. Meski pelan tapi tetap bikin aku down.

Untungnya ada Bu Liliek, guru yang baik dan sabar. Dia memintaku datang ke rumahnya setiap sore hari. 

Karena ingin bisa membaca, nggak mau kena tabok pensil, dan yang terbesar nggak mau terus terusan malu saat disuruh membaca di kelas, aku pun mendatangi rumah Bu Liliek yang berjarak sekitar 3 kilometeran dari rumahku.

Waktu itu, rumahku di kaki Gunung Ungaran yang masih banyak sawah dan kebun pala.Tiap usai Asar, kususuri pematang sawah menuju rumah Bu Liliek. Kutinggalkan jam bermain di sore hari untuk belajar.

Seingatku, aku belajar secara private dengan Bu Liliek nggak lama. Tidak sampai satu bulan. Belajarnya santai, tiap hari aku diajarinya membaca selama setengah jam. Setelah belajar, biasanya aku diajak Bu Liliek jalan sore sebentar sambil jajan. Oia, untuk private itu, aku tidak membayar dan Bu Liliek tidak memungut bayaran alias gratis.

Perjuanganku dan pengorbanan Bu Liliek berhasil. 

"Kelulusan" aku bisa membaca diproklamirkan Bu Liliek dengan memintaku membaca di depan kelas. Waktu itu, aku diminta membaca salah satu bab di buku IPS terbitan Balai Pustaka. Aku diminta membaca satu halaman berisi kalimat panjang, dan... berhasil.

Bu Liliek tersenyum, karena akhirnya aku bisa lancar membaca.

Aku tidak hanya lancar membaca, tapi juga tahu titik koma saat membaca. Tahu intonasi kata saat dibubuhi tanda tanya atau tanda seru. Cara membacaku juga lebih enak disimak, tidak main terabas seperti anak-anak lain.

Sejak saat itulah, semua buku/majalah kusantap habis. Buku pelajaran, koran Suara Merdeka, majalah Bobo, majalah Intisari, majalah Kartini  yang terkenal dengan rubrik seksologi  Dr Naek Tobing, juga sobekan koran yang jadi bungkus cabe tak pernah kubiarkan tergeletak tanpa dibaca. Dendam, gemes karena selama ini tertekan akibat nggak bisa baca harus dibayar lunas!

Saat di kelas 3, aku mulai keranjingan membaca novel berhalaman tebal. Seperti anak-anak zaman itu, aku pun menyukai Lima Sekawan, dan Trio Detektif. Lalu beranjak ke buku yang lebih tebal lagi, seperti biografi Jenderal Ahmad Yani dan tentu saja Buku Pintar seri junior senior karya Iwan Gayo.

Darimana aku dapat buku itu? Kebanyakan sih baca di perpustakaan atau minjam punya teman (pastinya dijaga dan dipulangkan, supaya bisa minjem buku lain).

Kegilaan pada buku, berlanjut hingga kuliah dan saat masuk dunia kerja. Tak cuma membaca, aku juga menikmati proses mencari buku-buku lama di loakan.Rasanya damai banget bisa mencium aroma kertas, menikmati bau buku baru atau buku lama diantara rak-rak toko/lapak.  

   

Selain mengoleksi, aku seperti penggila buku lain, ikut menjual koleksi buku berjudul dobel ke marketplace seperti Tokopedia, atau Bukalapak. Hasilnya, aku pakai lagi untuk beli buku yang jadi target buruan.(*)  

  





Buku Soe Hok Gie Catatan Seorang Demonstran, cetakan pertama LP3ES ini kubeli di tahun 2003. Waktu itu beli lewat pelapak di Kaskus. Untuk sebuah buku bekas harganya cukup tinggi Rp 90 ribuan. Meski kondisinya mengenaskan (cover dan halaman sobek, banyak halaman diselotip) aku tetap membelinya karena memang ingin membaca buku ini. 


Halaman Soe Hok Gie yang "diperban" pakai selotip. Gak apa-apa, yang penting masih bisa dibaca dan buku asli.


Buku asli, Soe Hok Gie dan Ahmad Wahib bukan cetakan pertama, kondisi baru dan segel. Sementara buku Kemelut Demokrasi dan Cendekiawan buku retur/bekas display. Semua dibeli saat bazaar LP3ES di Pejaten, Jaksel sekitar tahun 2014. Pastinya dengan harga sangat ekonomis. Buku-buku ini kemudian kujual online juga. 

Share
Banner

EKMALMNA

Post A Comment:

0 comments: