Wanita bercadar. (Sumber: Paxels) |
Ratusan mahasiswa Sumatera Utara memprotes larangan jilbab berpenutup muka di Fakultas Kedokteran USU. Ulama mendukung protes itu.
KAMPUS Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK-USU), di kawasan Padangbulan, Medan Baru, terasa panas. Selama dua pekan ini, terjadi tiga kali demo oleh ratusan mahasiswa. Biasanya mereka berdemo di biro rektor dan kantor dekan fakultas kedokteran. Aksi itu tak hanya diikuti mahasiswa FK, melainkan juga konco-konconya dari fakultas lain. Bahkan, sebagian mahasiswa Institut Teknologi Medan, Universitas Islam, dan Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara ikut berunjuk rasa.
Jumat pekan lalu, pengunjuk rasa menggeber aksinya di luar kampus. Hari itu, sekitar 50 mahasiswa bertandang ke kantor DPRD Sumatera Utara, Jalan Imam Bonjol, sekitar 10 km dari Padangbulan. Mereka menemui Hanif Ray, Ketua Komisi V DPRD. Sejumlah poster mereka bentang.
Kepada Hanif, para mahasiswa itu menuntut agar Surat Keputusan Dekan FK-USU yang melarang penggunaan cadar di kampus dicabut. Hanif mendukung perjuangan para mahasiswa itu. Ia berjanji akan menjadi mediator antara mahasiswa dan otoritas kampus.
Beleid bermasalah itu diterbitkan Dekan Prof. Dr. Sutomo Kasim, pada 30 November 1999. Isinya melarang pemakaian cadar di fakultas kedokteran."Kami akan bergerilya sampai surat itu dicabut,'' kata Oslan Purba, aktivis Forum Anti Diskriminasi Hak Asasi Manusia. Organisasi yang biasa disingkat sebagai Foradis HAM ini mendukung diizinkannya mahasiswi memakai cadar atau jilbab.
Unjuk rasa itu dipicu pengalaman pahit Dwi Maya Heti Nasution, 23 tahun, mahasiswa angkatan 1996 FK-USU. Waktu itu hanya Heti yang memakai cadar penutup muka. Ia kuliah dan praktek tanpa kesulitan. Awal tahun ajaran 1999, masuk mahasiswi baru, Elvina Mahara, yang juga bercadar.
Sekitar satu setengah bulan sebelum Dekan FK menerbitkan SK larangan bercadar tersebut, Heti dipanggil pimpinan fakultas. Ia diberitahu bahwa pemakaian cadar di lingkungan FK akan dilarang. Kata dekan, cadar mengganggu proses kuliah. Di antaranya, menghalangi komunikasi mahasiswi dengan dosen, atau dengan pasiennya saat praktek di rumah sakit. Jika tetap bercadar, Heti dan Elvina dipersilakan angkat kaki dari fakultas.
Heti tak goyah. Ia menilai larangan itu tak beralasan. Sepanjang pengalamannya, kuliahnya tak terganggu. Alasan bahwa mahasiswi bercadar sulit dikenal dosen juga tak masuk akal. Buktinya, tak semua dosen mengenal mahasiswi, padahal umumnya mereka tak bercadar, bahkan tak berjilbab. Soal komunikasi dengan pasien juga bukan ditentukan cadar, melainkan oleh sikap dan hati nurani dokter.
Argumentasi Heti percuma. Pada 18 Oktober 1999, saat ikut ujian mata kuliah farmasi, ia diusir ke luar ruangan. Heti tak beranjak. Ia tetap menyelesaikan ujiannya, meski diancam tak diberi nilai. Lain halnya dengan Elvina. Ia tak kuat menanggung tekanan. Pada 25 Maret tahun lalu, ia meninggalkan kampus FK-USU dan beralih ke universitas lain.
Heti yang masih bertahan terus mendapat tekanan. Saat ikut ujian midsemester dan semester, Desember lalu, ia tiga kali diusir. Toh, dengan berbagai cara, ia terus merampungkan tugas-tugasnya. Hasilnya, semua mata kuliahnya dinyatakan lolos. Ia berktekad merampungkan kuliahnya tahun depan."Saya yakin Allah melindungi saya,'' katanya terharu.
Rupanya derita Heti mengundang simpati aktivis mahasiswa se-USU. Mereka lalu membentuk barisan dengan nama Foradis HAM tadi. Setelah berkali-kali gagal mendekati pimpinan fakultas secara persuasif, Foradis turun ke jalan. "Kami bersimpati karena Heti mendapat diskriminasi,'' ujar Dini Sriwati, mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik USU.
Bagi Prof. Dr. H. Abdullah Syah, MA, Ketua MUI Sumatera Utara, soal cadar adalah masalah khilafiyah. Yang memakai cadar menganggap seluruh tubuh wanita adalah aurat yang mesti ditutupi. Sebaliknya, yang tak becadar berpendapat, tangan dan wajah bukan aurat. Abdullah tak setuju perbedaan pandangan tersebut dipertentangkan.
Pendapat Abdullah dikuatkan Dr. Din Syamsudin, Sekretaris MUI pusat. Katanya, di saat dunia menghargai hak asasi manusia, pelarangan cadar, terlepas suka atau tidak suka, terasa melampaui batas. Din memberikan contoh. Di Jerman ada dokter yang kuliah menggunakan cadar. Ia tak dilarang karena tutup muka itu tak mengganggu aktivitasnya.
Sampai Jumat pekan lalu, belum ada kepastian mengenai tuntutan mahasiswa di Medan itu. Pembantu Rektor III USU, Drs. Jhon Tafbu Ritonga, menyatakan heboh cadar itu sepenuhnya urusan Dekan FK. Kata Jhon, jika Senat Fakultas menghendaki, SK soal cadar itu bisa saja dicabut.
Sinyal Jhon senada dengan isyarat Dekan FK, Sutomo Kasim. Katanya, untuk menanggapi tuntutan mahasiswa tersebut ia segera mengundang semua anggota senat fakultas."Saya tak menjamin, setelah rapat senat itu larangan memakai cadar akan dicabut,'' ujar Sutomo.
Jaminan belum ada. Karena itu, demo pun belum tentu reda.
Fachrul Rasyid dan Ekmal M. Noor Adha (Medan)
=============
Liputanku di tahun 2001 ini terbit di Majalah Gatra 20 Januari 2001
Link awal: http://arsip.gatra.com/2001-01-18/majalah/artikel.php?id=45814
Post A Comment:
0 comments: