AGAMA
MASJIDTertutupnya pintu-pintu masjid
Di Zaman Nabi Muhammad SAW, masjid adalah pusat aktivitas. Bolehkah dijadikan arena silaturahmi politik.
MASJID kembali disorot. Setelah Presiden Abdurrahman "Gus Dur" Wahid menggunakan medium jumatan untuk membahas berbagai persoalan bangsa, langkah tersebut kini dilakukan tokoh "poros tengah", Amien Rais. Sedikitnya, sudah dua kali Amien mengadakan silaturahmi dengan pimpinan organisasi sosial politik Islam yang melibatkan Taufik Kiemas -suami Megawati Soekarnoputri.
Pertemuan pertama, usai salat Jumat di Masjid Al-Furqon, Kramat Raya 45, Jakarta Pusat, 23 Februari lalu. Pertemuan kedua, pada 2 Maret, di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Meski Amien Rais, yang juga Ketua MPR, menyatakan bahwa pertemuan tersebut menghasilkan unspoken conclusion (kesimpulan yang tak terkatakan), masyarakat paham arahnya ke mana. Yakni, menyatukan persepsi untuk melengserkan Gus Dur dari kursi kepresidenan.
Bolehkah masjid dipakai sebagai arena silaturahmi politik? Di zaman Nabi Muhammad SAW, masjid adalah pusat segala aktivitas. Baik menyangkut dakwah, politik, hukum, maupun ekonomi. Di sekitar Masjidil Haram di Mekkah, misalnya, para pedagang menjual barang- barang dagangannya. Masjid Nabawi di Madinah pernah dijadikan pangkalan militer.
Baru di zaman Daulah Bani Umayyah (61 H/661 M), istana dibangun sebagai pusat pemerintahan. Mereka memusatkan pemerintahannya di istana negara yang dibangun di Damaskus, Suriah.
"Masjid akhirnya dikhususkan untuk kegiatan ibadah dan dakwah," tutur Dr. Ali Mufrodi, MA. "Sedangkan politik, hukum, dan ekonomi sudah mempunyai tempat tersendiri," pakar sejarah peradaban Islam dari IAIN Sunan Ampel, Surabaya, ini menjelaskan.
Para penyebar Islam di Indonesia juga memanfaatkan masjid sebagai tempat ibadah dan mengatur strategi dakwah. Sedangkan kegiatan pemerintahan, hukum, dan ekonomi sudah dipisahkan, walaupun lokasinya masih berdekatan dengan masjid. Masjid Demak, misalnya, letaknya berdekatan dengan pusat pemerintahan (istana), pasar, dan alun-alun (pusat keramaian). "Wali Songo memanfaatkan Masjid Demak sebagai pusat strategi dakwah," ujar Ali Mufrodi.
Dalam pandangan Miftah Farid, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bandung, kegiatan politik bisa dilakukan di masjid, asal memenuhi tiga syarat. Yakni niat, proses, dan akibat. "Boleh saja melakukan silaturahmi yang berbau politik di masjid, asal niatnya tidak jelek," tutur Miftah kepada Sulhan Syafi'i dari Gatra. "Artinya, jangan membuat fitnah dan menjelekkan orang. Ini berdosa," ulama yang pernah menulis buku tentang fungsi masjid ini menambahkan.
Senada dengan Miftah adalah pandangan Dr. Abdul Munir Mulkan. "Jika mereka berada di masjid, tidak akan berbicara urakan, atau menghujat lawan-lawan politiknya," tutur dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, itu kepada Sujoko dari Gatra.
Munir melihat realitas yang telah dilakukan Gus Dur, dengan safari Jumat-nya itu. "Awalnya baik. Namun, ketika Gus Dur menghadapi persoalan-persoalan politik, ia terjebak juga," kata Munir.
Itu sebabnya, KH Ali Yafie mengajak umat meneladani masjid seperti di era Nabi Muhammad SAW. "Masjid diarahkan memperbaiki kehidupan dan akhlak yang bermuara pada menyembah Allah," tutur Ali Yafie kepada Ekmal M. Noor Adha dari Gatra. "Apakah mereka menggunakan masjid seperti cara Rasulullah memakmurkan rumah Allah itu?" Ali Yafie balik bertanya.
Pandangan Prof. Dr. Roem Rowi, MA, lebih tegas lagi. "Pertemuan politik sebaiknya tidak diadakan di masjid," katanya. Pertimbangannya adalah heterogenitas muslim di Indonesia. Bila konsolidasi politik dilakukan di masjid, menurut dia, itu membuka peluang terciptanya ekses negatif terhadap masjid. "Masjid kesannya jadi alat politik," ujar Ketua MUI Jawa Timur yang juga guru besar pemikiran Islam IAIN Sunan Ampel itu.
Pemikiran Roem Rowi itu sejalan dengan Sidi Gazalba. Dalam buku Mesjid: Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (1983), Sidi berpendapat, bila dalam satu negara ada satu partai politik, maka aktivitas partai boleh dilaksanakan di dalam masjid. Bila lebih dari satu partai, tertutuplah pintu masjid buat partai-partai. "Karena masing- masing partai tidak lagi berusaha dan bertujuan untuk masyarakat muslim, terjadilah pertentangan antara fungsi masjid dan fungsi partai," tulis Sidi (halaman 203).
Rupanya, umat Islam Indonesia perlu mengembalikan peran masjid sesuai dengan fungsinya.
Herry Mohammad dan Mujib Rahman
====
Terbit di Majalah Gatra 24 Maret 2001
Link: http://arsip.gatra.com/2001-03-22/majalah/artikel.php?pil=23&id=44710
Post A Comment:
0 comments: