PENDERITAAN KUSTA
Mencari tempat berlindung
Penyandang kusta di Medan berunjuk rasa. Malu pulang kampung. Masyarakat kurang menerima kehadirannya.
PARA penyandang cacat kusta berunjuk rasa. Selasa dua pekan lalu, mereka berdemo di depan Kantor Biro Sosial Sekretariat Daerah Provinsi Sumatera Utara. Ditonton karyawan biro sosial itu, sekitar 50 orang itu mengacung-acungkan tangan, layaknya mahasiswa berunjuk rasa.
Protes dilayangkan pada Rumah Sakit Kusta (RSK) Sicanang, Belawan, Medan. Pengelola rumah sakit itu dituding menyunat santunan, dan memeras mereka. "Kalau mau masuk panti harus nyogok Rp 200.000," kata Rahman Karo-karo, 65 tahun, juru bicara demonstran.
Mereka menuntut ditampung di panti kompleks RSK Sicanang, seperti yang dialami 172 kepala keluarga penyandang kusta. Mereka dapat rumah kayu seluas 6 x 8 meter, plus jatah 15 kilogram beras, gula, dan kebutuhan lain senilai sekitar Rp 100.000 tiap bulan.
Sebenarnya, tuntutan serupa sudah berkali-kali diajukan ke RSK Sicanang dan kantor Gubernur Sumatera Utara. Tapi tak pernah ditanggapi. Padahal, untuk kembali ke masyarakat di pedesaan asal mereka, terbentur rasa malu. Maka, agar bisa bertahan hidup, terpaksa mereka mengemis di lampu merah di kota Medan.
Kemudian, pada sore harinya, usai mengemis, mereka kembali ke rumah pondokan teman di Sicanang. Ada pula yang mengontrak gubuk di sekitar kompleks tersebut. "Sewanya Rp 200.000 setahun," kata Muhammad Ali, yang terkena kusta sejak 10 tahun silam. Begitu sembuh, ia kembali pada istrinya di Langsa.
Tapi, masyarakat di sana menolak kehadirannya. "Saya tak kuat menahan derita. Semua orang menjauhi. Mereka jijik, dan malu dekat kami," kata Muhammad Ali. Lalu, ia mengajukan permohonan menetap di panti, namun ditolak.
Memang, pihak RSK Sicanang tak mau menampung mantan pasiennya yang sudah sembuh. Selain itu, tudingan miring mengenai penyunatan dana dan pemerasan terhadap penderita kusta dibantah pihak RSK Sicanang. "Apa pula itu, ah tak ada urusanlah," kata Melva Silalahi, Direktur RSK Sicanang. Ia justru menuding Rahman dan kawan-kawannya tak tahu diri. Sudah dirawat gratis sampai sembuh masih cerewet pula. "Sudah beberapa kali diusir masih juga datang kemari," katanya.
Alasan pengusiran ini berdasar peraturan daerah tahun 1985, yang mengharuskan pasien yang sudah sembuh kembali pada keluarganya. Itulah yang membuat Edy Sofyan, Kahumas Pemda Sumatera Utara, merasa berat menampung mereka kembali. "Pegang sajalah ketentuan itu," ujarnya.
Perlakuan ini ternyata berbeda dengan di RSK Sitanala, Tangerang, Banten. Para penyandang kusta di Tangerang lebih beruntung. Seorang penghuni Panti RSK Sitanala, Bustani, 60 tahun, misalnya, sudah 30 tahun menetap di situ. Bahkan, ia berjodoh dengan penyandang kusta lain, yang memberinya dua putra yang sehat. "Saya tidak merasa ditelantarkan," katanya.
Di panti itu, Bustani dipekerjakan sebagai petugas kebersihan. Ia mampu membayar kutipan Rp 1.000 per hari untuk pondokan dan makan tiga kali sehari. "Biaya itu bisa dibayar semampunya. Dari separuhnya sampai gratis," kata Sudarmadji, Direktur RSK Sitanala, kepada Ekmal M. Noor Adha dari Gatra.
Sementara itu, pasien di RSK Sumber Glagah, Mojokerto, Jawa Timur, malah tidak dipungut biaya sepeser pun. Sumirah, 40 tahun, mengaku senang dirawat di rumah sakit ini. "Semuanya baik dan gratis," katanya. Bahkan, pada hari raya, ia dapat santunan seperangkat pakaian dan Rp 20.000.
RSK Sumber Glagah memang punya pos pemasukan sendiri, selain anggaran dari pemerintah. Pos itu diperoleh dari pemasukan layanan kesehatan nonkusta, yang dibuka atas izin Dinas Kesehatan Jawa Timur, Mei 1996. Hingga kini, pos tersebut rata-rata bisa menyumbang sekitar Rp 320 juta tiap tahun.
Selain menciptakan pemasukan, Sumber Glagah juga menekan anggaran. Misalnya dengan membuat kolam lele dan kebun mangga. Awalnya, hasil budi daya ikan dan kebun itu dijual. Belakangan, hasil itu dinikmati sendiri karena, "Masyarakat kadung takut sama penderita kusta," kata Nanang Koesnatedjo, Direktur RSK Sumber Glagah.
Efisiensi anggaran juga dilakukan melalui pembuatan alat-alat bantu penderita kusta. Dulu, kaki palsu, sepatu, kruk, dan alat meluruskan jari tangan dibeli di tempat lain. Kini, alat bantu tersebut dirakit sendiri di bengkel RSK. Bengkel berukuran 16 meter persegi itu dikelola Kasiadi, 36 tahun. Pengiritan biaya jutaan rupiah pun terlaksana.
Sulitnya kucuran uang dari pemerintah untuk RSK memang dibenarkan Direktur Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan, Ahmad Djojosugito. "Biaya untuk rehabilitasi itu mungkin dikurangi," ujarnya. Sementara itu, para penyandang kusta memiliki rasa ketergantungan pada pemerintah yang sangat besar. "Mungkin, ini yang menyebabkan unjuk rasa," katanya kepada Taurusita Nugrani dari Gatra.
Rita Triana Budiarti, Affan Bey Hutasuhut (Medan), dan Nurul Fitriyah (Surabaya)
=====
Terbit di Majalah Gatra 21 April 2001
Link: http://arsip.gatra.com/2001-04-22/majalah/artikel.php?id=44458
Post A Comment:
0 comments: