slider

Recent

Diberdayakan oleh Blogger.

Logo TVRI dari Masa ke Masa

  Logo TVRI sejak 2019. Lebih milenial tapi mirip DW Jerman Deutsche Welle atau DW adalah TV dan Radio plat merah Jerman. Selain untuk warga...

Cari Blog Ini

Navigation

Sunda Kelapa Saksi Kejayaan Bahari Indonesia

Kapal Kayu -  Eksotiknya kapal kayu di dermaga Pelabuhan Sunda Kelapa, hingga kini masih jadi magnet utama wisatawan datang ke tempat ini. (foto:ekmalmedan)

TRADISIONAL - Seorang pekerja mengangkut kayu dari kapal tradisional yang sandar di dermaga Sunda Kelapa. (foto:ekmalmedan)

Siang itu, sejumlah anak muda berkumpul di dermaga Pelabuhan Sunda Kelapa. Sebagian dari mereka memakai topi rimba untuk menangkal teriknya matahari pukul  11.00 WIB. Meski cuaca sangat panas dan sangat menyengat, mereka tetap asyik dengan kegiatannya.

Sambil menenteng beragam kamera digital, anak-anak muda itu melanjutkan hunting foto di seputaran pelabuhan tradisional tertua di Indonesia. Dari penampilannya, bisa ditebak mereka adalah anggota komunitas fotografi. Sekumpulan orang-orang yang masih setia menikmati Sunda Kelapa di tengah derap modernisasi peradaban.

Pelabuhan Sunda Kelapa adalah bagian dari kawasan wisata Kota Tua. Pelabuhan yang terletak di kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara ini sangat dekat dengan Taman Fatahillah. Untuk menuju tempat ini bisa dengan berjalan kaki selama 15 menit, atau menggunakan jasa ojek sepeda yang banyak tersedia di tempat ini.

Meski tidak memiliki sertifikasi Internasional Ship and Port Security, pelabuhan Sunda Kelapa yang berada di bawah PT Pelindo II ini tetap ramai. Tiap hari puluhan kapal-kapal kayu melakukan aktifitas bongkar muat di tempat ini. Kebanyakan yang sandar di dermaga memang kapal-kapal kayu. Biasanya kapal ini membawa bermacam hasil bumi, hingga material bangunan seperti semen, kayu dan besi untuk dibawa menuju Kalimantan, Sulawesi, Sumatera dan beberapa pulau di timur Indonesia.

Untuk mendukung aktifitas bongkar muat, saat ini pelabuhan Sunda Kelapa memiliki dua dermaga; dermaga Kalibaru sepanjang sekitar 700-an meter berdaya tampung 60 kapal dan dermaga utama yang panjangnya lebih dari 3 kilometer serta berdaya tampung 70-an kapal .

Dibanding pelabuhan Tanjung Priok, aktifitas di Sunda Kelapa kalah ramai. Tak ada crane-crane raksasa untuk menaikturunkan peti kemas. Kalau pun ada katrol mesin, tapi kapasitasnya tidaklah terlalu besar. Untuk proses bongkar muat, tenaga manusia masih jadi yang utama di tiap dermaga.

Namun unsur ketradisionalan itu justru membuat Sunda Kelapa  unik. Melihat kapal kayu sandar dan buruh bongkar muat bekerja, seolah membawa kita ke abad 14. Era dimana Sunda Kelapa mencapai kejayaannya. Era saat kapal-kapal VOC Belanda hilir mudik membawa rempah-rempah ke Eropa.

MENARA SYAHBANDAR - Turis menyaksikan panorama perairan Sunda Kelapa dari atas Menara Syahbandar. Menara ini berdiri sejak tahun 1839. Selain menjadi menara pabean, dari ketinggian ini VOC bisa memantau kedatangan kapal-kapal musuh. (foto:ekmalmedan)


PERTAHANAN - Di sekitar Menara Syahbandar, Belanda memasang beberapa meriam untuk menghalau serangan dari laut. (foto: ekmalmedan)

Sekelumit Sejarah

Dari sejumlah literatur, nama Sunda Kelapa sudah ada sejak abad ke 5. Saat itu pelabuhan ini di bawah kekuasaan Kerajaan Tarumanagara, kemudian diteruskan Kerajaan Pajajaran atau Kerajaan Sunda yang beribukota di Pakuan (Bogor). Kala itu, untuk membawa hasil bumi dari Pakuan ke Bandar Kalapa (nama awal Sunda Kelapa)  butuh waktu paling cepat dua hari. 

Lama perjalanan dua hari ini berdasarkan catatan Tom Pires pelaut Portugis di tahun 1513 M. Lewat catatan perjalanannya yang diberi judul  The Sum Oriental, Peres menulis dari Bandar Kalapa menuju ibukota Sunda yang bernama Dayeuh mereka menempuhnya selama dua hari.

Di masa Kerajaan Sunda inilah, pelabuhan Sunda Kelapa mencapai masa keemasannya. Jung-jung Tiongkok, hingga kapal-kapal dagang Arab serta Eropa ramai singgah di pelabuhan yang juga populer disebut Pelabuhan Lada ini.

Bila menilik timeline sejarah, maka Pelabuhan Sunda Kelapa jadi saksi kehebatan pelaut-pelaut nusantara. Sangat besar kemungkinan, Jung Jawa yang memiliki empat layar besar yang membuat kagum pengelana Ibnu Battuta dan Jonhan de Marignolli juga  kerap bongkar muat di Sunda Kelapa.

Ibnu Battuta saat singgah di Kerajaan Samudera Pasai di abad ke-14 menulis, Jung Jawa sangat mempesona. Kapal kayu empat layar ini, dibuat tanpa menggunakan paku. Diperkirakan kapal berlapis empat kayu dan tahan gempuran meriam itu, memiliki bobot 600 ton hingga 1.000 ton. Jung Jawa mendunia, saat digunakan armada Kesultanan Demak  di bawah komando Adipati Unus menyerang Portugis di Malaka sekitar tahun 1513.

Pengembara asal Taggier, Maroko itu hanya berada di Pasai selama dua pekan, namun dia banyak membuat catatan-catatan perihal kejayaan bahari nusantara kala itu. Battuta kemudian melanjutkan petualangannya ke Tiongkok.

Sebagai pembanding, Jung Jawa Demak berbobot 1.000 ton itu setara beratnya dengan  kapal-kapal rudal milik Rusia kelas Buyan seperti korvet Veliky Ustyug dan korvet Grad Sviyazhsk yang pada 7 Oktober 2015 lalu sukses menggempur pertahanan Islam State (IS) di Suriah dari Laut Kaspia yang berjarak 1.000 mil!

Ramainya Sunda Kelapa membuat Portugis kesengsem. Gubernur Jenderal Portugis untuk Malaka     ( saat itu Malaka jajahan Portugis) mengirim utusan kepada Raja Sunda untuk membuka benteng di muara Ciliwung.  Melalui dua utusannya Tom Pires dan Enrique Leme, akhirnya ditekenlah perjanjian kerjasama antara Raja Sangiang Surawisesa dengan Gubernur Portugis D'Albuquerque  pada 21 Agustus 1522. Perjanjian Padrao yang jadi tonggak kedekatan dengan Portugis inilah yang membuat Kesultanan Demak menyerang Sunda Kelapa.

Serangan Demak pada tahun 1526 itu dipimpin Fadhillah Khan alias Fatahillah atau Falatehan, seorang ulama muda yang juga panglima perang. Serangan Demak membuat Sunda Kelapa jatuh. Pertempuran makin sengit ketika pasukan Portugis datang membantu, namun mereka berhasil dipukul mundur. Kemenangan pasukan Fatahillah pada 22 Juni 1527 inilah yang kemudian menjadi hari lahir Kota Jakarta.Fatahillah pun mengubah nama Sunda Kelapa jadi Jayakarta yang artinya "Kemenangan yang Sempurna" atau "Kejayaan dan Kesejahteraan". Namun lidah orang-orang Eropa menyebutnya Yacarta.

Selama hampir satu abad, 1527-1619 Fatahillah membuat Jayakarta jadi bandar yang maju dan ramai. Kerjasama dengan Kesultanan Banten, Cirebon dan Demak membuat bandar ini mencapai kejayaan. Kehebatan Jayakarta bahkan dicatat mampu menenggelamkan dominasi Malaka yang dikuasai Portugis. Beberapa jejak Fatahillah yang masih ada hingga kini adalah Masjid Kampung Luar Batang, di muara kali Ciliwung.

Kejayaan Jayakarta berakhir di tahun 1619 saat Belanda di bawah Jan Pieterszoon Coen membumihanguskan kota pelabuhan itu dan mendirikan kota baru bernama Batavia. Di era inilah, Belanda mendirikan menara Syahbandar di dekat Museum Bahari yang sekaligus jadi titik nol Batavia. Di tangan Belanda, Batavia terus meluas wilayahnya. Benteng-benteng, bangunan khas Eropa tumbuh subur di kawasan Kota Tua. Era Batavia sendiri akhirnya tumbang saat Jepang menjajah Indonesia di tahun 1942-1945 dan mengubah nama kota ini jadi Jakarta.

Namun kejayaan pelabuhan Sunda Kelapa sebenarnya mulai memudar oleh beberapa momentum. Mulai dari dibukanya Singapura oleh Raffless, beroperasinya terusan Suez tahun 1869 dan beralihnya dunia pelayaran ke kapal-kapal uap. Pendangkalan perairan dan tuntutan modernisasi membuat pemerintah Hindia Belanda memindahkan aktifitas pelabuhan dari Sunda Kelapa ke Tanjung Priok. Tanjung Priok yang berjarak 9 kilometer dari Sunda Kelapa mulai beroperasi di era Gubernur Jenderal Johan Wilhelm van Lansberge di tahun 1877. Sementara pada tahun 1974, pemerintah Indonesia mengembalikan nama pelabuhan tua atau pelabuhan pasar ikan jadi Pelabuhan Sunda Kelapa.

BANGUNAN VOC - Beberapa peninggalan Belanda masih tegak berdiri hingga kini. Sangat menarik sebagai objek "jualan" untuk plesiran wisatawan. (foto: ekmalmedan) 

KURANG TERTATA - Suasana di depan Museum Bahari, Jl Pasar Ikan, Sunda Kelapa. Bangunan yang menua dan jalanan yang kurang tertata dan kumuh jadi PR pemerintah dan semua stakeholder pariwisata. (foto: ekmalmedan)

Sunda Kelapa Kini
Kini Pelabuhan Sunda Kelapa menjadi bagian dari kawasan wisata Kota Tua Jakarta. Tiap akhir pekan masih sangat ramai dikunjungi wisatawan, terutama wisatawan dalam negeri. Saya beberapa kali hunting di tempat ini, dan harus diakui sebagai kawasan wisata Sunda Kelapa, dan kawasan Kota Tua masih kurang nyaman.

Kumuh, merana dan kurang tertata itulah wajah Sunda Kelapa saat ini. Jika kita berjalan dari Taman Fatahillah menuju Pelabuhan Sunda Kelapa maka banyak kita jumpai bangunan-bangunan peninggalan Belanda yang menua: cat terkelupas, atap rusak, tertutup, berdebu dan berkesan horor. Saat hujan, kawasan ini juga amat becek dan beroma busuk dari got-got yang mampet.

Padahal jika kawasan ini ditata secara serius, akan menjadi kota tua yang benar-benar luar biasa. Dapat mengalahkan kota tua Malaka, di Malaysia yang begitu indah asri. Upaya revitalisasi, pernah saya dengar di tahun 2014.

Lewat program Jakarta Old Town Reborn (JOTR), sejumlah arsitek dalam negeri dan arsitek Belanda mencoba mengembalikan roh Kota Tua Jakarta. Program hasil kerja bareng Yayasan Rumah Asuh dan Erasmus Huis  ini mencoba  menyegarkan kawasan ini. "Rencana ini lahir karena kami melihat realita, hampir 40 tahun  kawasan Kota Tua  kurang tertata. Banyak masterplan namun sedikit yang terwujud," begitulah semangat yang tertuang dalam program JOTR tersebut.

Yang menarik dari program ini adalah, gagasan menjadikan Kota Tua sebagai kawasan hijau, asri dan pusat segala bentuk kegiatan kreatif. Gagasan menarik dan tentu saja butuh biaya besar.Tapi dengan keseriusan, dan kesadaran pentingnya mengingatkan generasi muda Indonesia akan kejayaan bahari kita di masa lalu, tentu rencana itu bukan hal mustahil. Dengan ide besar Pembangunan Maritim yang diusung Presiden Joko Widodo, sebenarnya revitalisasi Kawasan Kota Tua termasuk Sunda Kelapa bisa terwujud.

RINDANG - Suasana taman di bagian dalam gedung Stadhuis. Enak tentunya bersantai di suasana seperti ini. (foto: ekmalmedan)


GERSANG - Taman Fatahillah saat ini sangat gersang dan jauh  dari kata "Taman". Saat saya kemari tahun 2008, masih ada pohon rindang di dua sisi bangunan bersejarah ini. (foto: ekmalmedan)

Mari kita bayangkan, nikmatnya berakhir pekan di Taman Fatahillah yang teduh. Atau berpesiar menyusuri jalanan menuju Pelabuhan Sunda Kelapa yang trotoarnya resik, berhias bangku-bangku taman dan rindang kanan kirinya oleh pepohonan nan hijau.

Kemudian kita menyaksikan senja yang angslup dari balik kapal-kapal kayu di dermaga Sunda Kelapa. Tentu sambil duduk santai di pinggir dermaga yang diberi conblock supaya kita nyaman berjalan-jalan.  Supaya tidak berdebu seperti saat ini, ada baiknya ada penataan ulang arus lalulintas. Mobil-mobil berat dari dan menuju pelabuhan, tidak masuk/keluar dari jalur-jalur selama ini. Harus ada zona pejalan kaki!

Tidak sekadar menikmati senja, anak-anak kita juga bisa naik ke atas kapal-kapal kayu yang sebenarnya masih jaya perkasa mengarungi lautan nusantara. Jika pemerintah berkenan, buat juga replika Pinisi atau Jung Jawa yang legendaris itu. Buat dua kapal itu selalu sandar di dermaga dan di hari-hari tertentu ada agenda melayari Teluk Jakarta tentu tidak gratis. Mari kita bayangkan itu dan bersama mewujudkannya.

Jika  Fatahillah sukses mengalahkan armada Portugis kiriman Gubernur Malaka, maka kini saatnya bagi Joko Widodo atau Ahok mengalahkan Malaka lewat pariwisata Sunda Kelapa! (*)


PINTU AIR SUNDA KELAPA - Alat berat membersihkan pintu air Sunda Kelapa. Tampak di belakang Menara Syahbandar (Uitkijk Post). Dulu Belanda membangun terowongan bawah tanah dari Uitkijk Post  ini ke Benteng Frederik Hendrik (sekarang Mesjid Istiqlal). (foto:ekmalmedan)




BAYANGKAN SAJA - Bayangkan ada taman dan bangku seperti ini di sepanjang dermaga Sunda Kelapa. Mari bayangkan nikmatnya menunggu senja di spot ini. (foto: ekmalmedan)



Share
Banner

EKMALMNA

Post A Comment:

0 comments: