slider

Recent

Diberdayakan oleh Blogger.

Logo TVRI dari Masa ke Masa

  Logo TVRI sejak 2019. Lebih milenial tapi mirip DW Jerman Deutsche Welle atau DW adalah TV dan Radio plat merah Jerman. Selain untuk warga...

Cari Blog Ini

Navigation

Tiga Generasi, Jatuh Bangun Mengurus Toko Seni


MEDAN- Berjalan-jalan di kawasan Kesawan, Medan selalu mengingatkan orang pada zaman kolonial. Meski tidak semuanya terawat, masih banyak bangunan bergaya Eropa tempo doeloe berdiri di tempat ini.

Di antara bangunan tua itu, persisnya di Jalan Ahmad Yani VII, berdiri satu bangunan khas Belanda. Bangunannya berderet memanjang, terdiri dari beberapa rumah toko.Di ujung bangunan, tampak satu toko berwarna putih kusam, hampir seluruh catnya terkelupas.

‘Toko Seni’ begitu bunyi plang yang menempel di atas pintu masuk. Hanya ‘Toko Seni’ tanpa embel-embel nama lain.Hurufnya berwarna kuning dengan latar hitam. Plang ini juga mulai renta termakan cuaca.

Masuk ke dalam toko seni ini, mata pengunjung langsung disambut berbagai kerajinan tangan khas Indonesia. Ada patung buatan Suku Asmat, ukiran khas Bali, patung asli Batak, batik, ulos langka, sampai kerajinan perak khas Bangka . Semua tertatap apik di dalam beberapa lemari kaca.

Interior ruangan ini di dominasi warna coklat muda. Lantainya dari keramik bercorak papan catur: coklat putih, makin menguatkan kesan klasik ruangan ini.
Toko Seni berdiri sejak zaman Mayor Chong Afie. Sekarang toko ini dikelola Alex, generasi ketiga yang mewarisi usaha kakek buyutnya.

Kakek buyut Alex, asli perantau dari Cina daratan. Tiba di Medan, pada pertengahan abad ke-19. Saat itu Belanda giat mengimpor tenaga kerja China dan India untuk bekerja di perkebunan tembakau. Berkat kerja keras Nienhuys, pesona Tanah Deli sebagai ‘Het Dollar Land’ sangat cemerlang kala itu. Menggoda siapa saja agar mau datang ke Parijs Van Sumatra.

Begitu sampai di Medan, kakek buyut Alex justru tidak bekerja di perkebunan. Dia malah memutuskan memulai bisnis seni dan kerajinan.

Kutukan generasi ketiga tampaknya berlaku buat Alex. Saat ini, Alex yang rambutnya sudah memutih, mengaku cukup berat meneruskan Toko Seni milik buyutnya itu. Bertahun-tahun, galeri seni ini berjalan. Berkembang dan bertahan lewat promosi mulut ke mulut.

Menurut Alex, bisnisnya mulai mati suri sejak kerusuhan Mei 1998. Gejolak sosial membuat turis enggan plesiran ke Sumatera Utara. Pasca tsunami 2004, toko Alex kembali ramai. Banyak staf LSM asing berkunjung dan membeli barang-barang seni di tokonya.

Seiring berakhirnya masa tugas LSM asing di Aceh, Toko Seni milik Alex kembali redup. "Sekarang betul-betul sepi. Untuk tutup modal saja susah," keluh Alex.

Meski tertatih-tatih, Alex berjanji meneruskan usaha leluhurnya ini.Sampai dia tak kuat lagi, dan ada orang yang membeli Toko Seni. (*)

Share
Banner
Next
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

EKMALMNA

Post A Comment:

0 comments: