slider

Recent

Diberdayakan oleh Blogger.

Logo TVRI dari Masa ke Masa

  Logo TVRI sejak 2019. Lebih milenial tapi mirip DW Jerman Deutsche Welle atau DW adalah TV dan Radio plat merah Jerman. Selain untuk warga...

Cari Blog Ini

Navigation

Perjalanan Air

Penulis di bukit Bukit Uhud. Berbeda dengan Indonesia, Arab Saudi terkenal sangat gersang dan hujan per tahun bisa dihitung jumlahnya. (dok.pribadi)
Perjalanan umroh ke tanah suci pada akhir Mei 2014 lalu tidak cuma memperkaya pengalaman spiritual saya. Selama perjalanan ibadah di Madinah, Mekkah dan Jeddah  saya menyaksikan bagaimana di negeri petrodollar nan tandus itu, air sangat berharga dan mahal harganya. 
 
Begitu tiba di bandara internasional King Abdul Azis, Jeddah dari Kualalumpur via Muscat,Oman rombongan kami langsung melanjutkan perjalanan menuju Kota Madinah. Sepanjang rute  berjarak 450 kilometer yang ditempuh selama 6 jam, hanya hamparan tanah tandus  yang tampak di kanan kiri jalan. Gurun gersang, bebatuan hitam, atau gunung-gunung gundul kering kerontang.Kalau pun ada tetumbuhan, hanyalah semak belukar yang itu pun warnanya kecoklatan atau kelabu zonder ijo royo-royo.
Sejauh mata memandang hanya gunung batu dan pasir gurun kering. 

Tidak ada pemandangan hijau yang menyejukkan mata seperti di Medan, kota asal saya. Meski  kondisi jalanan dari Jeddah menuju Madinah sangat mulus, tanpa lubang, tanpa tiang listrik  dan kebanyakan jalurnya panjang serta lurus-lurus membelah gurun, namun tetap saja hati ini merindukan perjalanan seperti dari Medan  menuju Berastagi yang banyak diselingi alam rimbun menghijau. 

Aplikasi weather di smartphone saya, memperlihatkan cuaca di luar bis sangat cerah dengan suhu 43 derajat Celcius.Benar-benar suhu yang kontras dengan di Sumatera Utara yang paling ganas panasnya hanya 35 derajat Celcius. Kata Ustad Mahmud selaku mutowif (pembimbing perjalanan umroh) kami dari Balqis Travel, jazirah Arab memang sangat kering. Turunnya hujan dalam setahun bisa dihitung dengan jari. Maka terjawablah, kenapa pemandangan di sini kering kerontang. Air sangat langka di negeri Arab, itulah dia!

“Bayangkan bapak-bapak dan ibu-ibu, hujan tahun ini baru turun dua kali. Jadi marilah bersyukur karena kita di Sumatera Utara masih rutin dikirimi hujan oleh Allah SWT,” kata Ustad Mahmud.

Dan selama 9 hari umroh di tanah suci, saya jadi sangat memperhatikan bagaimana bangsa Arab memperlakukan air. Negeri ini memang minyak bumi berlimpah ruah, yang membuatnya masuk jajaran negara-negara  kaya di dunia.Tapi di balik kekayaan itu, tersimpan “obsesi” untuk memiliki air tawar seperti di negeri-negeri topis.
Matahari bersinar sepanjang tahun dan turunnya hujan bisa dihitung dengan jari.

Begitu kering menyengatnya cuaca di tempat ini, hingga saya tidak pernah melihat rumah-rumah penduduk yang jendelanya terbuka. Rumah kecil maupun yang megah bertingkat lima atau lebih semuanya tertutup. Halaman rumah mereka juga terlihat gersang tanpa bunga, tiada rumput serta minus pepohonan seperti rumah-rumah di Indonesia. Sebagai ganti, AC-AC dipasang tuan rumah untuk mensuplai udara sejuk ke dalam rumah.

Cuaca kering di Arab  membuat air enggan berlama-lama di permukaan tanah. Saking keringnya, bahkan keringat di tubuh langsung “disedot  dan menguap” begitu keluar beberapa titik dari pori-pori.Saat penguapan air keringat ini, saya kerap merasakan sensasi semriwing seperti hilangnya spritus dari tapak tangan.  

Kata Naser, sopir bus pariwisata kami yang berkebangsaan Mesir, air di jazirah Arab memang kerap jadi masalah. Dia menuturkan, pada tahun 2002 silam masyarakat beberapa kabupaten di sekitar Madinah dilanda kelangkaan air. Panas terik membuat pasokan air ledeng dari PDAM setempat mampat. Alhasil antrean warga memburu air dari truk-truk air milik swasta pun terjadi dimana-mana.

Beruntung pemerintah Kerajaan Arab Saudi cepat tanggap, dilakukanlah penyulingan air laut agar bisa dikonsumsi. Untuk menikmati air tawar hasil sulingan air laut itu warga memang tetap harus membayar. 

Walau air kini lancar jaya mengalir ke bak-bak kamar mandi penduduk Arab, tapi menurut Naser harganya masih termasuk tinggi. “Seliter air di sini lebih mahal dari seliter bensin,” tutur Naser.

Mutowif kami, Ustad Mahmud kemudian menambahkan harga seliter bensin di Madinah saat ini kurang dari 1 riyal Saudi (1 Riyal Saudi = Rp 3.100). Dan harga bensin ini sudah bertahan berpuluh tahun. Wow, saya melongo mendapat penjelasan ini. Membuat saya sejenak  “terlempar” ke Indonesia yang harga bensinnya  selalu naik saban tahun dan kerap melahirkan gejolak.

Ketika air  langka, pihak swasta di Arab kerap memainkan harga air sesukanya. Air untuk mengisi drum kecil ukuran  kira-kira 1.000 liter akan dijual seharga 110 Riyal Saudi. Dan itu pun hanya bisa bertahan dua atau tiga hari pemakaian. Maka bisa dibayangkan berapa duit yang harus dianggarkan setiap rumah tangga di Arab jika harus berlangganan air dari truk-truk swasta ini.

Menyaksikan harga air yang mahal di Arab, lagi-lagi membuat saya dan para jamaah kembali mensyukuri menjadi penduduk di negeri tropis bernama Indonesia. Negeri hijau permai yang hujan dan panasnya seimbang. Negeri zamrud khatulistiwa yang memiliki air tawar yang segar dan bersih dimana-mana. 

Meski ada juga layanan air ledeng berbayar dari PDAM, namun masyarakat di Sumatera Utara tetap leluasa memperoleh air dimana-mana. Kalau pun ada biaya, itu adalah biaya investasi di awal untuk membuat sumur bor atau sumur timba. Selanjutnya, silakan  air dipakai sepuasnya dengan gratis. Tis! Tis! Tis!

Harga air yang mahal di Arab memang bukan bualan sopir bus kami. Buktinya, saat membeli air mineral ukuran 600 mililiter di minimarket saya harus merogoh 2 Riyal Saudi dari dompet. Padahal untuk membeli sebotol  Aqua ukuran serupa di In*#maret  dekat rumah cukup Rp 2.300. Tiba di hotel, saya juga menemukan stiker himbauan agar tamu menggunakan air sehemat mungkin. Tidak cuma himbauan, saat saya membuka kran shower, air yang mengucur pun  tidak sederas air dari kran hotel-hotel di Indonesia.

Soal air yang dihemat bisa dirasakan saat di Masjid Nabawi, Madinah dan Masjidil Haram, Mekkah. Di dua masjid yang sangat dirindukan jutaaan umat muslim sedunia ini, saya melihat kran-kran air wudhu mengalirkan air tidak sederas kran di masjid-masjid di Indonesia. Meski kran dibuka sampai pol, air yang mengalir tidak lebih dari diameter pensil 2B!


Kebun kurma di pingir Madinah. Selain dengan sumur bor, air irigasi berasal dari air buangan AC dan toilet.Tak air yang terbuang sia-sia.

Perjalanan mengamati air di Arab semakin menarik, ketika kami berjalan-jalan ke Kebun Kurma di pinggiran Madinah. Di tengah padang gurun, kami menemukan kebun kurma yang sangat rindang. Puluhan pohon kurma yang sangat mirip kelapa sawit di Sumatera Utara tumbuh subur, inilah pemandangan hijau pertama yang saya saksikan selama di Arab. 

Berbeda dengan cerita-cerita jamaah haji atau umroh lainnya, kebun kurma yang saya kunjungi menggunakan sistem pengairan dari sumur bor dan bukan dari oase atau sungai kecil. Pemilik kebun kata mutowif kami, harus mengebor tanah gurun sedalam 150 meter bahkan lebih untuk memperoleh air. Tidak cuma wajib dalam, pemilik kebun harus berjuang keras berkali-kali melakukan pengeboran di beberapa titik sampai pipa yang mereka tusukkan ke perut bumi sukses menyemburkan air yang diidamkan.

Tapi bukan cuma soal ngebor berkali-kali ini yang membuat saya takjub. Di kebun kurma yang pembantunya banyak diimpor dari Jawa Barat itu saya justru menyaksikan fakta unik lain. Tentu masih menyangkut soal air.


Pasar kurma yang sekompleks dengan kebun kurma. Pakai bahasa Indonesia saja, karena karyawan mereka mayoritas dari Jawa. 


Saat berjalan mengitari kebun, saya terpaku menatapi  mesin-mesin AC yang nangkring di dinding luar rumah. Ada hal ganjil yang saya saksikan. Mata saya melihat air buangan AC di tempat itu tidak dibuang begitu saja seperti di Medan. 

Pemilik kebun menyalurkan air buangan dari beberapa AC dengan pipa berukuran setengah inchi. Ketika saya ikuti jalur pipa itu semua menuju satu bak penampungan yang bentuknya mirip bak tadah hujan di Indonesia. Bak yang ditanam dalam tanah itu menampung semua air buangan AC di kebun itu. 

“Air AC ini ditampung di bak untuk dipakai menyiram kebun,”kata seorang pekerja menjawab keheranan saya.
Perhatikan selang dan pipa kecil di mesin AC ini. Itu untuk mengalirkan air ke bak penampungan.

Air buangan AC disalurkan setetes demi setetes lewat pipa ini ke bak penampungan. Kemudian dipakai untuk mengairi kebun.


Dari pekerja itu pula saya mengetahui, bahwa mereka juga mengalirkan air buangan dari toilet-toilet yang disediakan untuk wisatawan ke dalam bak yang sama.Semuanya untuk dipakai lagi menyiram pohon-pohon kurma. Betul-betul tidak ada yang mubazir soal air bagi masyarakat Saudi.

Untuk memenuhi kebutuhan air bersih bagi warganya, Pemerintah Kerajaan Arab Saudi memang sangat luar biasa. Mereka mendatangkan banyak insinyur dari Jerman untuk membantu membuat pusat penyulingan air laut. Selain air laut, air-air buangan dari rumah-rumah penduduk, dari hotel-hotel, dari pertokoan,  dan dari perkantoran juga didaur ulang untuk dipakai lagi.

“Air di hotel kita itu juga air daur ulang. Tapi tenang, airnya dijamin bersih dan bisa dipakai wudhu karena sudah diproses pakai teknologi tinggi,” tutur Ustad Mahmud.

Mendaur ulang air sisa aktifitas di kamar mandi,  terus terang hingga kini masih membuat saya geli. Bahkan, saat tiba di tanah air dan mendarat di Bandara Internasional Kualanamu, fenomena daur ulang air dan memanfaatkan air buangan AC di Arab terus melekat dalam pikiran. Lagi-lagi saya kembali bersyukur bisa hidup di Indonesia yang air tawarnya berlimpah.

Namun saya juga tak bisa menampik sebuah kekhawatiran, bila suatu saat bangsa Indonesia akan mengikuti jejak Arab Saudi. Bukan jejak kekayaannya, tapi jejak keribetan mereka harus menampung air AC atau mengolah air limbah kamar mandi supaya bisa dipakai ulang buat keperluan sehari-hari.

Kekhawatiran saya  sangat beralasan, sebab setiap hari masih menyaksikan atau membaca berita penggundulan hutan, dan kerusakan lingkungan. Jika kerusakan lingkungan tetap diabaikan, bukan mustahil bangsa kita akan sengsara di kemudian hari. Tidak cuma tersiksa karena banjir atau kemarau panjang,  tapi juga merana karena air tawar kian sulit didapat. Sebagai tanda syukur kepada Sang Khalik, maka wajib bagi kita masyarakat Indonesia untuk aktif menjaga lingkungan hijau permai anugerah illahi ini. (#)

*Tulisan ini Memenangkan Grandprize Trip ke Prancis pada Anugerah Jurnalistik AQUA (AJA) 2014

** Tulisan pernah dimuat di website www.delimail.co




MENARA EIFFEL - Inilah menara paling terkenal di dunia, sangat banyak menginspirasi kisah-kisah romantis. Tidak heran, sebab di titik ini memang banyak taman yang nyaman dan indah untuk dinikmati. Tour ini berawal dari kisah "Perjalanan Air" yang meraih grand prize AJA IV yang dihelat Aqua Danone./ dokumentasi pribadi


USAI pengumuman pemenang Anugerah Jurnalistik Aqua IV 2014, di Erasmus Huis, Jakarta 

Share
Banner

EKMALMNA

Post A Comment:

0 comments: