slider

Recent

Diberdayakan oleh Blogger.

Logo TVRI dari Masa ke Masa

  Logo TVRI sejak 2019. Lebih milenial tapi mirip DW Jerman Deutsche Welle atau DW adalah TV dan Radio plat merah Jerman. Selain untuk warga...

Cari Blog Ini

Navigation

Laksanakan Kontrol Sosial Lewat Film


Diskusi Tribun Bersama Komunitas Bambu Runcing



KOMUNITAS film terus bermunculan di Kota Medan. Seperti jamur di musim hujan, komunitas anak-anak muda pembuat film indie ini terus hadir silih berganti. Dan satu dari sekian banyak komunitas  itu adalah Bambu Runcing.  Meski belum genap berusia setahun, tapi  kelompok ini  mulai diperhitungkan di kalangan pembuat film

Komunitas ini dibentuk pada 17 Agustus 2011, awalnya diperkuat 10 orang yang tergabung dalam Movie Anak Medan. Namun seiring perjalanan waktu terjadilah seleksi alam, personel silih berganti dan namanya pun kini berubah menjadi Bambu Runcing.

Kini Bambu Runcing  hanya diperkuat empat anak-anak muda. Mereka adalah Debby Anisafitri (Koordinator),  Rini Syafrida Ginting (Script Writer), M Fadly (Fotografer/tim kreatif), dan Wawan.

Pada Sabtu (7/4) pekan lalu, Bambu Runcing minus Wawan menyempatkan diri berdiskusi ke kantor Tribun  Medan, Jl KH Wahid Hasyim No 37, Medan. Selama dua setengah jam, diskusi berlangsung hangat dan diselingi nonton bareng karya-karya  Bambu Runcing.

Debby selaku koordinator secara lugas menuturkan, membuat film indie baik fiksi maupun dokumenter benar-benar bisa membebaskan jiwanya. Sebagai mantan stringer stasiun televisi berita nasional, Debby mengaku ide-idenya justru tak bebas berkembang di media mainstream.

" Sebagai stringer saya merasa bekerja untuk televisi cenderung tak bebas melakukan kontrol sosial. Ada banyak hambatan teknis," kata Debby yang sangat ingin mengangkat ketimpangan sosial di sekitar Medan.

Menurut Debby, karena isunya terlalu lokal maka sangat jarang stasiun televisi nasional  mengangkat masalah-masalah sosial yang masih banyak terjadi di Medan. Misalnya kemiskinan, kehidupan gelandangan, dan ketertinggalan warga di pinggir rel.

Karena keasyikan membuat film dokumenter, akhirnya Debby sering keteteran mengerjakan tugas jurnalistiknya sebagai stringer. Tapi uniknya, Debby malah memilih fokus di Bambu Runcing. Padahal sebagai moviemaker di Bambu Runcing mereka belum memperoleh penghasilan tetap dan memadai.

Fokus itulah kesepakatan yang mereka usung di komunitas ini. Tak heran jika, belum genap setahun sejumlah film sudah dibuat. Satu film fiksi berjudul Kasih Untuk Reina yang diikutkan dalam festival dan tiga film dokumenter.

Setelah Kasih Untuk Reina, Debby dan teman-temannya menelurkan Rumah Tanah Air, Indonesiaku Hilang, dan Medan Dibalik Lensa.

" Rumah Tanah Air sangat berkesan, karena untuk membuatnya kita harus menginap selama 4 hari 3 malam di perkampungan nelayan di Belawan," kata Fadli.

Rumah Tanah Air bertutur tentang ketertinggalan masyarakat nelayan di Belawan. Tak hanya tertinggal secara ekonomi, warga di tempat ini juga tertinggal secara pendidikan dan tentu saja infrastruktur pembangunan.

Masalah ekonomi yang akut, menurut Debby membuat para orang tua di perkampungan ini tak lagi terlalu memikirkan pendidikan anak-anak mereka. Lebih baik ikut mencari ikan yang langsung bisa menghasilkan uang daripada capek-capek sekolah.

" Bagus cari ikan bisa dapat uang, daripada pergi sekolah," tutur Debby tentang kondisi sosial yang langsung mereka saksikan saat pembuatan film Rumah Tanah Air.

Kondisi sosial seperti inilah yang membuat Bambu Runcing tertantang menfilmkannya. Debby dan teman-temannya percaya, film dapat menjadi kontrol sosial yang bagus serta membingkai nasib masyarakat yang tertinggal. (em/cr1)

NB: Naskah ini pernah diterbitkan Harian Tribun Medan, Minggu, 8 April 2012
Share
Banner

EKMALMNA

Post A Comment:

0 comments: