slider

Recent

Diberdayakan oleh Blogger.

Logo TVRI dari Masa ke Masa

  Logo TVRI sejak 2019. Lebih milenial tapi mirip DW Jerman Deutsche Welle atau DW adalah TV dan Radio plat merah Jerman. Selain untuk warga...

Cari Blog Ini

Navigation

Optimistis Rehabilitasi 5.000 Korban Tragedi 1965


Diskusi Tribun Bersama Bakumsu



BANTUAN Hukum dan Advokasi Sumatera Utara (Bakumsu) mencatat, saat ini di Sumatera Utara sedikitnya ada 5.000 korban kekerasan peristiwa 1965. Para korban yang sudah berusia senja, kebanyakan masih menderita hidupnya karena belum dipulihkan hak-hak mereka sebagai warga negara.

Karena itu, rehabilitasi hak-hak sipil warga korban tragedi 1965, kini menjadi satu konsentrasi  Bakumsu sebagai lembaga yang komit pada penguatan demokrasi melalui penegakan hukum, perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) dan penguatan masyarakat sipil.

Benget Silitonga, Sekretaris Eksekutif Bakumsu  dalam diskusi bersama di kantor redaksi Tribun Medan, Senin (28/5) menilai, meski dalam berbagai kesempatan pemerintah menggadang- gadang rekonsiliasi serta rehabilitasi  para korban kekerasan 1965, namun faktanya tak seindah apa yang tertulis.

Tanah yang tetap melayang, mengurus KTP yang dipersulit, susahnya memperoleh jaminan sosial dan terasing secara sosial menjadi momok yang tetap menghantui warga korban kekerasan tahun 1965.

Padahal menurut Benget, tidak semua korban kekerasan itu adalah anggota Partai Komunis Indonesia. Banyak dari mereka yang dinistakan oleh rezim Orde Baru tanpa alasan jelas. Zaman kegelapan saat itu, makin runyam karena ribuan warga harus masuk penjara tanpa proses pengadilan. 

"Banyak korban yang ternyata di-PKI-kan hanya karena pernah menolak memberikan tanah mereka untuk pengusaha perkebunan kala itu. Banyak yang seperti itu," kata Benget.

Meski tak memiliki catatan, namun Benget menuturkan kasus tanah yang saat ini kembali meruncing dan jumlahnya mencapai 2.000-an kasus merupakan warisan kasus-kasus penyerobotan tanah pada era Orde Lama dan Orde Baru.

Kini setelah era reformasi, banyak korban juga keturunan para korban kekerasan tersebut yang kembali menuntut hak mereka. Tak cuma hak atas tanah atau rumah yang dirampas, banyak dari mereka menuntut hak atas kebenaran sejarah dan hak atas keadilan. Mereka tak ingin terus menerus disalahkan dan dituding sebagai pelaku kejahatan yang sebenarnya tak pernah mereka lakukan.

Tapi dalam kacamata Bakumsu, menuntut hak atas kebenaran sejarah ini sangat rumit dan sulit diwujudkan. Karena itulah, mereka menawarkan alternatif lain.

"Rehabilitasi dan kembalikan kehidupan mereka. Jika pemerintah Belanda saja bisa meminta maaf dan memberikan ganti rugi kepada korban tragedi Rawagede, kenapa pemerintah Indonesia tidak bisa?" tanya Benget.

Di era otonomi daerah saat ini, rehabilitasi bahkan dapat lebih dimungkinkan. Pemerintah daerah jika mau, dapat saja memangkas jalur birokrasi. Tinggal kemauan mereka untuk mau tidak memanusiakan para korban tersebut.

Sementara Manambus Pasaribu, Koordinator  Divisi Bantuan Hukum Bakumsu menyoroti lemahnya penegak hukum di tanah air menggunakan perspektif HAM dalam menangani kasus. Polisi, Jaksa dan Hakim selalu enggan memaknai apa yang terjadi di balik aksi-aksi warga.

" Misalnya dalam kasus tanah, mereka selalu terjebak di kekerasannya. Padahal jika ditilik ke belakang, ternyata warga terpaksa menempuh jalur kekerasan karena tanah mereka ternyata diserobot penguasa dan pengusaha tahun 60-an,"  ujar Manambus yang melihat benang merah kasus tanah saat ini dengan kekerasa negara di era 60-an.

Seorang korban kekerasan yang hadir dalam diskusi,  Jiman Karo-Karo  yang kini berusia 80 tahun juga sependapat menuntut penegakan HAM dan rehabilitasi kehidupan 5.000 korban tragedi 1965.

Mantan Kepala Dinas Penerangan Dairi tahun 60-an yang juga aktivis Partindo ini mengaku menjalani pahit getirnya kehidupan penjara tanpa proses pengadilan yang jelas. Dia dituduh mendukung PKI dan ditahan berpindah-pindah dari Medan ke Sidikalang hingga ke Pulau Jawa.

Ironisnya, setelah bebas di tahun 1986, Jiman tak kunjung direhabilitasi hak-haknya sebagai warga negara. Gaji, rumah, tanah tetap dikuasai negara. Sementara untuk mengurus KTP dan jaminan sosial untuk hari tuanya juga dipersulit. "Ibaratnya aku ini diadili tanpa aku tahu apa kesalahanku," kata Jiman getir.

Meski berat, namun Bakumsu optimistis proses penegakan HAM dan rehabilitasi terhadap warga yang jadi korban kekerasan negara bisa diterapkan. " Kami saat ini masih dalam proses sosialisasi, kasus-kasus ini harus diselesaikan dengan baik. Agar tak jadi bom waktu di kemudian hari," tutup Benget. (mom/em)

NB: Tulisan ini pernah diterbitkan di Harian Tribun Medan edisi Selasa, 29 Mei 2012
Share
Banner

EKMALMNA

Post A Comment:

0 comments: