Resensi Buku: Pak Katua Inspirasi Kita Semua
Judul: Ayahku Inspirasiku, Sepucuk Surat Teruntuk Ayahanda Tercinta TD Pardede
Penerbit: Kakilangit Kencana, 2012
Penulis: Mariska Lubis
Halaman: 213 halaman
Soft cover/ Hard cover
SIAPA tak kenal TD Pardede, raja uang dan tekstil dari Medan? Tumpal Dorianus Pardede begitu nama lengkapnya, namun orang lebih akrab memangilnya Pak Katua. Sosok ini begitu ngetop dan hadir dimana-mana, di tahun 1950-an hingga penghujung dekade 1980-an. Meski telah wafat 18 November 1991, nama dan jasa Pak Katua masih dikenang banyak orang.
Kini, buku tentang Pak Katua kembali hadir. Namun berbeda dari buku-buku sebelumnya, kali ini riwayat TD Pardede dihadirkan sangat personal oleh seorang putrinya Surya Indriani Pardede melalui tangan Mariska Lubis,penulis dari Bandung.
Sebagai sebuah biografi, buku yang diluncurkan awal Februari lalu ini disajikan secara bertutur. Seperti surat cinta penuh kerinduan dari seorang putri kepada ayahandanya. Sangat menarik dan membuat kita seperti membaca sebuah novel.
Meski harus diakui pada beberapa titik, tulisan yang penuh bunga ini jadi terasa mendayu-dayu dan kehilangan kelugasannya.Selain bahasa mendayu, buku ini juga punya kekurangan dalam foto. Semua foto di buku ini tak memiliki kaption, sehingga pembaca tak tahu foto itu menceritakan apa, kapan, dan dimana.
Lepas dari kaption dan mendayu-dayu itu, Indriani lewat Mariska berhasil menghadirkan Pak Katua dari sisi yang sangat berbeda. Kisah-kisah unik, kuat, berkarakter dan menarik seputar kehidupan TD Pardede pun dirangkum. Sangat bermanfaat dan benar-benar menginspirasi kita.
Lewat buku ini, pembaca jadi tahu TD Pardede bukanlah orang kaya berlimpah harta sejak dalam kandungan. Putra kelahiran Balige, 16 Oktober 1916 ini justru seperti orang kebanyakan. Bungsu dari lima bersaudara ini bahkan sudah menyandang gelar yatim sejak usia lima tahun.
Bakatnya sebagai pengusaha sudah ada sejak kecil. Selain senang berpakaian rapi dan bersih, TD Pardede kecil juga suka mengamati pasar (halaman 12).Saat sekolah di sekolah rendahan Inlandsche School 2e Klasse, TD Pardede juga menunjukkan bakat dagangnya.
Dikenal jago main keneker (kelereng), TD Pardede selalu menjual biji kelereng yang dimenangkannya. Dari modal kelereng ini dia membeli buku sekolah, dan juga gula-gula untuk dijual lagi ke temannya.
Saat usia belasan tahun, usai menyelesaikan pendidikan HIS, dia sempat jadi kernet dan akhirnya merantau ke Langsa. Di kota ini TD Pardede bekerja di sebuah rumah sakit. Meski sudah jadi pegawai, tapi otak dagangnya tetap jalan. Dia menjadi makelar obat, yang membuatnya memperoleh uang lebih banyak dari gaji bulanannya.
Pergulatan hidupnya terus mengalir, hingga akhirnya saat berusia 23 tahun TD Pardede muda menjadi buruh kebun. Kehidupan buruh yang terbelakang dan miskin membuatnya marah, dan kesal. Kondisi ini menyadarkannya, bahwa manusia harus merdeka secara fisik dan finansial. Dia pun bertekad jadi pengusaha, yang menurutnya bisa membuatnya hidup merdeka.
"Jika aku bisa jadi majikan di perusahaan, maka pegawai itu tidak boleh sengsara hidupnya seperti kita!" begitu tekadnya di depan para penderes temannya (halaman 28).
Penderitaan buruh inilah yang membuat TD Pardede kemudian menyediakan kehidupan layak untuk 10 ribu karyawannya di TD Pardede Holding Company yang memiliki 5 grup usaha. Asrama, pendidikan gratis, bis antar jemput dan uang makan untuk karyawan menjadi kebijakan visionernya, langkah yang belum dikenal dunia kala itu.
Kehidupan Pardede mulai berubah, saat dia memutuskan kembali ke Balige. Buruh kebun ditinggalkan, meski saat itu posisinya sudah meningkat jadi kerani. Bersama Hermina Napitupulu istri tercinta, dia membuka warung tuak, menjual rokok linting dan kios kelontong di Balige.
Bisnisnya semakin on the track saat dia mulai berbisnis garam, ikan, dan gula merah. Sebagai pedagang, karakter TD Pardede justru semakin terlihat. Di tahun 1942, dengan mengayuh sepeda dia jemput garam, ikan dan gula dari Sibolga dan Tapanuli Utara. Lalu semua komoditi itu dijual ke Pematang Siantar dan Medan. Ulet dan kerja siang malam, membuat TD Pardede sulit disaingi pengusaha lain.
Dari situlah aku jadi banyak uang, sehingga di zaman Jepang, yang dibilang paling kaya di Tapanuli, akulah itu!kata Pardede yang terus berkibar di industri tekstil, perikanan, perkebunan dan perhotelan.
Keuletan dan visinya yang kuat membuat Bung Karno jatuh hati. Tak heran jika di tahun 1965-1966, TD Pardede diangkat menjadi Menteri Urusan Berdikari.
Lepas dari suksesnya sebagai pengusaha, buku ini juga menyajikan sisi manusiawi seorang TD Pardede. Meski tegas dan keras, ayah dari sembilan anak ini sangat suka diperhatikan. Siapa sangka, TD Pardede paling senang diberi kado? Sangat romantis pada istrinya. Gila bola hingga nekad mendirikan klub Pardedetex. Dan suka menjodohkan sesama karyawan di lingkungan kerjanya?
Pak Katua juga sangat toleran. Meski dikenal sebagai Nasrani taat, TD Pardede bisa marah besar jika saat rapat ada pegawai yang muslim tidak salat padahal azan sudah berkumandang. "Bagaimana kalian mau diberkahi, kalau kalian lebih takut sama aku daripada sama tuhanmu!"
Tentu masih banyak sisi menarik yang bias dipetik dari buku setebal 213 halaman ini. Meski tak terlalu tebal, namun sangat bermanfaat untuk menimba ilmu tentang kewirausahaan, rasa toleran, ketegasan, dan tentu saja romantisme. (ekmal muhammad)
*Resensi ini pernah diterbitkan di Harian Tribun Medan, edisi Sabtu, 3 Maret 2012
Post A Comment:
0 comments: