Sering Kucing-kucingan dengan Satpam
Diskusi Tribun Bersama Komunitas Parkour Medan
PERNAH melihat sekelompok anak muda beraksi lincah melompati pagar? Atau gesit memanjat tembok setinggi 3 meter ?Mereka bukan atlet kungfu apalagi bajing loncat, tapi mereka adalah traceur (aktivis parkour), olahraga halang rintang dari Perancis.
Meski sering dicap ekstrem karena dianggap berbahaya, namun penggemar parkour terus bertambah. Di Medan, olahraga yang punya motto cepat, tepat dan efisien ini mulai dikenal tahun 2008. Setahun kemudian belasan penggemarnya mendirikan Komunitas Parkour Medan
Pada Sabtu (25/2) tiga traceur dari Komunitas Parkour Medan (KPM) berkenan hadir di kantor Harian Tribun Medan, Jl Gatot Subroto No 449 D-G, Medan. Mereka Tarmizi, Ikhsan dan Angga selama satu setengah jam menuturkan bagaimana parkour bertahan dan berkembang di Sumatera Utara.
Tarmizi yang sore kemarin didaulat sebagai juru bicara menjelaskan, parkour sebenarnya bukan olahraga ekstrem. Olahraga ini murni mendayagunakan semua kekuatan tubuh dan kecermatan pikiran untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Dan tentu saja, semua proses itu harus dilakukan dengan cermat, tepat dan efisien.
"Kita bukan asal loncat dan terobos. Semua gerakan kita lakukan lewat latihan lebih dulu.Jika asal nekad bisa saja celaka," kata Tarmizi yang kini masih kuliah di Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara.
Berbeda dari komunitas lain, KPM justru harus berlatih setiap hari. Belasan traceur berlatih keras di halaman Auditorium Universitas Sumatera Utara. Latihan berlangsung dua jam dimulai pukul 17.00 WIB.
Latihan setiap hari bukanlah tanpa alasan, sebab sehari tidak berlatih membuat badan kehilangan kelenturan, kekuatan dan kecekatan. Padahal tiga hal ini sangat penting bagi seorang traceur. "Sehari tak latihan, otot langsung kaku. Parkour memang harus berlatih setiap hari," kata Ikhsan.
Kemampuan melompat dinding dan menuruni bangunan tanpa alat ternyata bisa bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari.Angga mencontohkan, dia pernah menggunakan keahlian parkour untuk menuruni tangga darurat di sebuah plaza di Medan. Dengan kelenturan dan kekuatan kakinya, Angga bisa sampai di lantai dasar lebih cepat dari orang lain.
Lain lagi penuturan Tarmizi, dia pernah menggunakan ilmu parkournya saat berwisata ke air terjun dua warna di Sibolangit. Dengan kelincahan tubuh, Tarmizi dan teman-teman traceur bisa mencapai air terjun 45 menit lebih cepat dari waktu normal.
Meski memiliki banyak sisi positif, Tarmizi menjelaskan masih banyak warga di Medan yang menganggap olahraga parkour sebagai olahraga ekstrem dan berbahaya. Tak heran jika beberapa kali anggota parkour Medan pernah ditangkap satpam atau kucing-kucingan dikejar petugas keamanan plaza.
" Ada teman kami ditangkap satpam saat berlatih melompati tembok di auditorium USU," tutur Tarmizi sambil menambahkan, parkour mengajarkan manusia untuk pantang menyerah menghadapi rintangan dan hambatan.
Ikhsan menambahkan, jika di Medan orang belum begitu kenal dan cenderung mencurigai parkour. Maka di Bandung dan Yogyakarta, parkour justru dihargai. bahkan pemerintah setempat juga mengapresiasi hobi anak-anak muda ini dengan menyediakan arena atau taman untuk berlatih.(cr1/em)* Tulisan ini pernah diterbitkan di Harian Tribun Medan edisi Minggu, 26 Februari 2012
Post A Comment:
0 comments: